Emha: Ketika Boneka Menjadi Pemimpin

“Apakah pemimpin yang demikian bisa berkuasa?”

“Yang benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh (bobotoh) yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para bobotoh. Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan masing-masing”.

“Apa ia tidak merasa malu menjadi boneka?”

“Itu satu rangkaian: tidak merasa bersalah, tidak malu, tidak tahu diri, tak mengerti bahwa ia sedang menyakiti dan menyusahkan rakyatnya, tidak memahami posisinya di hati masyarakat, tidak punya cermin untuk melihat wajahnya”

“Sampai separah itu, Pak?”

“Tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke rentenir…”.

“Pemimpin yang seperti itu akhirnya pasti jatuh dan hancur”, kata Kakak.

“Belum tentu”, kata Bapak.

“Jangan lupa bahwa kalau para bobotoh mampu mengangkat berhala ke kursi singgasana, berarti mereka juga menguasai seluruh perangkat dan modalnya untuk bikin apa saja semau mereka di Negara itu.

Juga selalu sangat banyak orang dan kelompok yang mencari keuntungan darinya, bahkan menggantungkan hidupnya. Sehingga mereka membela boneka itu mati-matian.

Mereka selalu mengumumkan betapa baik dan hebatnya pemimpin yang mereka mendapatkan keuntungan darinya, sampai-sampai akhirnya mereka yakin sendiri bahwa ia benar-benar baik dan hebat. Uang, kekuasaan dan media, sanggup mengumumkan sorga sebagai neraka, dan meyakinkan neraka adalah sorga”.

S a l a m ,

Emha Ainun Nadjib

(kk/tsc)