Islamopobia antara Cadar dan Rok Mini

Islam memang berakar serta bermula di jazirah Arab, meski budaya Arab tidak melulu merupakan budaya Islam, tetapi perlu dimengerti keberadaan Islam menyempurnakan sendi kehidupan dan budaya Arab.

Bagaimana dengan identitas religiusitas? Tengok saja hijab syari, bahkan cadar sebagaimana di awal tulisan, jenggot, celana cingkrang, atau pendidikan yang terpisah. Apakah itu budaya Arab atau menjadi aturan dalam Islam? Perlu diingat, sebelum Islam datang, Arab memiliki perilaku jahiliyah, jadi benarkah pilihan bentuk tampilan religiusitas itu sekadar Arabisasi?

Penulis memahami, keseluruhan identitas itu adalah bentuk ekspresi ke-Islaman. Kita tentu memahami komunikasi yang terdistorsi menyebabkan kemunculan sentimen dan prasangka, mendorong potensi konflik terjadi. Perang informasi terjadi.

Persentuhan Ideologi

Mengacu pada Huntington, yang mengatakan seluruh model perbenturan peradaban adalah tentang ideologi, maka Islam menjadi salah satu warna yang diidentifikasi.

Lebih jauh, Fukuyama mengungkapkan yang tersisa dari perjalanan kesejarahan adalah kemampuan bertahan kapitalisme sebagai sebuah ideologi.

Lantas, Islam terkategori sebagai ideologi yang berpengaruh. Sehingga, Islam pun mengambil bagian dalam pentas demokrasi. Tentu tidak lepas dari konsep Islam sebagai rahmat semesta alam yang mengatur gerak laku kehidupan individu dan sosial.

Problem yang tampil kini adalah Islamophobia, ketakutan psikologis yang sengaja diciptakan. Kapitalisme membutuhkan ruang dialektika, konflik abadi ideologis dimainkan, dimana Islam sebagai entitas dan identitas yang mudah diposisikan berseberangan.

Stereotype dan stigma dimunculkan. Islam diasosiasikan pada negativitas. Keburukan digeneralisasi untuk memberi label dan cap kepada wajah Islam yang sejatinya ramah dan membawa keberkahan. Bahkan Islam dimaknai sebagai kekakuan, ruang dengan konservatisme tertutup.

Identitas Politik

Arena politik menjadi ruang baru dalam perbenturan ideologi. Politik yang memiliki orientasi praktis serta ruang sempit bagi kepentingan kekuasaan yang bersifat fana, sejatinya harus mengadopsi nilai-nilai luhur agama yang substantif dan hakiki.

Maka kemudian, politik beridentitas muncul. Meski bisa jadi terjerumus pada politisasi simbol, tapi itulah konsekuensi ruang politik dalam demokrasi. Kita tidak perlu memproduksi kebencian baru atas nama kebenaran subjektif.

Hari-hari ini dibutuhkan lebih banyak kemampuan literasi dan tumbuhnya ruang dialog, dalam mengelola perbedaan. Islamophobia adalah bentuk dari hasil konstruksi atas preteks kepentingan demokratisasi ala Barat. Konsumsi narasi politik dan ideologi kita yang terbatas membuat gelap mata sebelah.

Kegagalan memahami ekspresi keberagamaan yang kemudian diseret ke dalam aspek politik adalah bentuk dari rasionalitas terbatas elite dan didistribusikan kepada publik untuk kepentingan masing-masing.

Kalau Anda sudah khawatir berlebihan dalam melihat cadar, silakan cek kembali konstruksi narasi di benak Anda.

*) Penulis: Yudhi Hertanto, Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid