Jokowi; Indonesia Sangat Membutuhkan Dolar

Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.

“Tidak hanya suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war,” ujar Tony di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).

Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. “Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah,” kata Tony.

Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.

Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. “Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term,” kata Tony. (rol)