KPK Tidak Juga Periksa Megawati dalam Kasus SKL BLBI

Diketahui, penyelidikan kasus yang merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 4,58 triliun itu terjadi pada era kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputeri sekitar tahun 2003-2004.

Febri mengatakan, KPK telah mengantongi sejumlah bukti-bukti berupa dokumen elektronik dan dokumen risalah rapat kabinet yang juga dihadiri oleh presiden Megawati kala itu. Namun, KPK tidak melihat ada persetujuan dalam teken SKL BLBI saat itu.

“Untuk pembuktian rapat kabinet itu kami sudah cukup kuat ketika mendapatkan bukti elektronik atau bukti tertulis di rapat kabinet itu. Karena tidak ada persetujuan sama sekali pada saat itu. Jadi tidak ada rencana pemeriksaan presiden (Megawati) tadi,” ungkap Febri.

Meski begitu, KPK telah mengetahui saat rapat kabinet yang juga dihadiri Megawati ditemukan ada permintaan untuk menghapus kewajiban Obligor BLBI. Namun tetap dipaksakan harus ada penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dinilai bertentangan dengan UU Perbendaharaan Negara.

“Kita tahu juga ada permintaan di rapat kabinet yang dihadiri juga oleh presiden saat itu (Megawati) ada permintaan untuk menghapus bukukan kewajban obligor BLBI ini. Tidak ada persetujuan sama sekali di rapat kabinet, tapi penerbitan SKL tetap dipaksakan,” jelasnya.

“Padahal disaat itu sekitar tahun 2004 ada aturan tentang perbendaharaan negara di UU Perbendaharaan Negara bahwa penghapusbukuan diatas nilai Rp 100 Miliar. Nah ini (BLBI) nilainya jauh lebih besar ya triliunan,” imbuhnya.

Febri juga mengatakan, syarat penghapusbukuan piutang terkait SKL BLBI yang jumlahnya triliunan itu mesti atas persetujuan Presiden dan DPR. Namun, pada saat itu tidak ada persetujuan sama sekali.

“Penghapusbukuan piutang untuk nilai diatas Rp 100M itu harus ada persetujuan presiden bersama DPR, nah ini tidak ada sama sekali. Nah, rangkaian peristiwa itu yang perlu kami pertajam sehingga pemeriksaan saksi-saksi masih akan terus berjalan,” demikian Febri. [md]