Riau SOS Karhutla, Gelar Adat Jokowi Disarankan Dicopot

Lebih jauh Wan menyebut, pemberian gelar itu bernuansa politis. Oleh sebab itu dia berharap lembaga adat dapat mengkaji kembali pemberian gelar kehormatan tadi.

“Ini kan sifatnya pragmatis semua. Kepentingan politik, kepentingan elit, bukan kepentingan rakyat. Sedih sekarang ini, cuaca sudah gelap,” katanya.

Disinggung mengenai peran yang perlu disuguhkan pemerintah pusat,  Wan menilai peran yang dimainkan itu harus lebih massif. Dia pun tidak setuju bila pemerintah daerah harus lebih aktif merespon bencana tahunan itu. Pasalnya kebakaran hutan di Riau merupakan imbas dari kebijakan pemerintah pusat puluhan tahun silam. Lantaran itu, pemerintah pusat harus menunjukan keaktifannya.

Wan menceritakan hutan di Riau telah dibabat sejak tahun 1970 an. Ketika itu alasanya adalah untuk memenuhi kebutuhan ekspor kayu gelondongan. Saat kebijakan ekspor itu dihentikan, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kemudian menjadikan bekas lahan tebangannya itu menjadi perkebunan. Selanjutnya pemerintah pusat membikin program transmigrasi.

“Kemudian diberi izin lah pengelolah pabrik pulp and paper, maka ada dua pabrik raksasa di Riau. Di samping adanya program Hutan Tanaman Industri (HTI),  dia (pabrik) itu juga membabat hutan-hutan yang diberikan izin konsesi oleh pemerintah pusat,” katanya

Setelah HTI marak dan hutan kian menciut kata Wan, Kelapa Sawit kemudian muncul, tanaman ini yang kemudian membuat tanah menjadi kering. Kondisi semacam itu mempermudah terjadinya kebakaran bila kemarau panjang berlangsung.

“Belum lagi ladang berpindah-pindah, serta aksi perusahaan mempercepat land clearing dengan cara dibakar. Ini sudah berjalan sekian puluh tahun. Paling parah itu sejak tahun 80- an sampai sekarang,” ujarnya. [gt]