Siapa Paling Potensial Lakukan Kecurangan di Pilpres 2019?

Bamsoet menilai penjajakan harus dilakukan saat ini karena sistem tersebut menghemat banyak hal dalam pelaksanaan pemilu, seperti pengadaan bilik suara, pengadaan tinta, kertas, rekrutmen saksi yang jumlahnya jutaan dan memakan biaya triliunan rupiah.

Jadi menurut saya arahnya sudah harus ke sana. Memang tantangan sangat berat, tapi harus kita mulai,” ucap dia.

Bamsoet mengatakan, tantangan penggunaannya sistem e-voting sangat berat, namun harus dimulai saat ini karena di beberapa tempat sudah berhasil digunakan dalam pemilihan kepala desa.

“Teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah melakukan dan berhasil dilakukan dalam pemilihan kepala desa di beberapa desa di Jawa Timur. Nah kalau itu bisa di tingkat nasional kita lakukan,” kata Bamsoet.

Sedang anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan audit internal terkait kasus KTP Elektronik (e-KTP) tercecer di Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur. Langkah itu perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada unsur sabotase atau tidak. Pasalnya, peristiwa serupa bukan pertama kali terjadi.

“Kemendagri harus melakukan audit internal terkait kasus ini mengingat kejadian ini bukan pertama kalinya. Apakah ini sabotase atau keteledoran lainnya,” kata Baidowi dalam keterangannya.

Dia juga meminta Kemendagri harus memastikan status e-KTP yang tercecer, apakah masih berlaku atau tidak. Sebab, bisa saja sudah diganti dan yang lama tidak dihanguskan. Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan menuturkan, apabila e-KTP yang lama tidak dimusnahkan, maka dikhawatirkan akan disalahgunakan. Terlebih di tahun politik seperti sekarang.“Sebelum itu terjadi, harus ada antisipasi agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ujar dia.

Kecurangan dalam Pemilu harus dicegah. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan, penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tahun depan harus bersih dari kecurangan. Wakil ketua DPR itu tak mempersoalkan teknis penyelenggaraannya, termasuk jumlah tempat pemungutan suara (TPS) pada Pemilu 2019.

Menurutnya, yang penting tidak ada praktik curang di pesta demokrasi tahun depan yang digelar serentak. “Asal yang paling penting adalah dijamin tidak ada kecurangan,” kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Dia menegaskan, kecurangan dalam pemilu merupakan ancaman terhadap demokrasi ke depan. Kecurangan itu bisa terjadi dari sisi penghitungan suara.

Karena itu, Gerindra tetap meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghitung suara secara manual dan berjenjang. “Kalau bisa penghitungan di setiap jenjang langsung diumumkan sehingga tidak bisa diutak-atik lagi,” ungkapnya.

Fadli lantas menyinggung potensi kecurangan melalui algoritma. Dia mencontohkan, misalnya duet Prabowo Subianto – Sandiaga S Uno memperoleh 100 suara di sebuah TPS. Namun, ketika datanya dimasukkan ke sistem penghitungan elektronik, angkanya bisa berubah melalui utak-atik pada algoritmanya. “Betul ditulis 100 suara, tapi ketika masuk di dalam sistem jadi 75 suara. Potensi kecurangan itu sangat ada,” katanya.

Oleh karena itu Fadli menyatakan, penghitungan suara harus dilakukan sebaik-baiknya. Saksi pun harus dilengkapi dengan berbagai alat, misalnya telepon seluler maupun kamera. “Jadi bisa difilmkan, divideokan atau direkam apa yang terjadi di setiap TPS,” ujarnya.

Hanya saja, kata Fadli, biaya pembayaran saksi merupakan suatu masalah yang membuat demokrasi di Indonesia semakin mahal. Ke depan, katanya, persoalan itu harus dipikirkan supaya tidak menjadi beban besar bagi partai. Fadli mengatakan, saat ini partai tak boleh berbisnis. Sementara pada masa lalu partai politik diizinkan punya bengkel, perkebunan, tambang dan lainnya.