Dr. Masri Sitanggang: People Power, Pintu Darurat Demokrasi

Eramuslim.com – Mengapa ada yang takut dengan People Power ? Kalau diterjemahkan secara bebas, dia cuma berarti “kekuatan rakyat”. Biasa-biasa saja, kan? Di negeri yang menganut sistem demokrasi, memang rakyatlah yang berdaulat : dari rakyat, oleh rakrat, untuk rakyat. Adapun pemerintah, sesungguhnya tak lebih dari orang yang diberi amanah oleh rakyat. Dalam arti, diberi mandat untuk mengurus negara sesuai dengan kehendak rakyat. Pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat.

Indenesia ini negara yang dibentuk atas dasar kesepatan. Bukan warisian seperti kerajaan, atau pemberian dari negara lain. Jadi Indenesia tidak punya tuan kecuali rakyatnya sendiri. Bahkan, raja-raja di negeri ini –yang dikenal dengan panggilan “Sulthan” karena kerajaan Islam, bersepakat untuk melepas sebahagian atau keseluruhan kekuasaannya demi negara bernama Republik Indonesia.

Itu pengorbanan yang luar biasa besar dari penguasa-penguasa Islam di tanah “syurga” ini. Para pejuang kemerdekaan yang bermandi peluh dan darah dari berbagai daerah rela meredam amarahnya terhadap para penghianat yang dulunya menjadi kaki tangan  penjajah asalkan para penghianat itu mau “ber-Indonesia”. Para penghianat itu boleh tinggal di Indonesia,  hidup beranak-pinak mencari penghidupan di negeri Jamrut Khatulistiwa ini, tidak didepak ke luar.

Kesepakan mendirikan negera, resminya, mulai dirancang sejak sidang-sidang BPUPKI. Yang paling mendasar untuk disepakati adalah bentuk negara Indonesia, falsafah negara, struktur utama pemerintahan dan tata kelola negara, tujuan dan cita-cita negara serta adanya jaminan HAM dihormati. Rumusan kesepakan itu dituangkan di dalam Naskah Piagam Jakarta yang ditandatangani 22 Juni 1945.

Meski demikian, umat Islam harus pula rela melepas tujuh kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari Piagam Jakarta. Jadi, jasa umat Islam untuk Indonesia ini memang tak terhingga besarnya. Bayangkan, mulai dari pengerahan fisik berperang mengusir penjajah, melepas kekuasaan kesulthanan-kesulthanan yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, sampai pada hal yang paling prinsip yakni menghapus tujuh kata itu. Padahal, mereka adalah penduduk mayoritas yang bisa berbuat sesukanya. Yang demikian itu semua semata-mata untuk sebuah negara merdeka: Republik Indonesia.