Dudung Itu Prajurit atau Politisi?

Prajurit jika berhadapan dengan musuh pilihannya hanya dua “kill or to be killed”. Jati diri prajurit TNI itu adalah pejuang dan profesional. Bukan ber-akting di luar profesinya mencari perhatian merambah kesana kesini. Masalah keagamaan diumbar dan disabotnya. Ngaco lagi.

Berhadapan dengan pemberontak, teroris dan separatis jiwa prajurit harus “mendidih darah” untuk memerangi dan bertempur secara ksatria. KSAD mendorong dan menjaga spirit tempur jajaran di bawahnya. Seperti macan yang siap memangsa. Hanya keputusan politik yang dapat mengerem. Janganlah komandan tempur bersikap seperti politisi. Mengendalikan dan mengendurkan semangat tempur prajurit. Berdiplomasi belat belit.

Dudung Abdurrahman sebagai komandan dibaca mengalami “split personality” antara prajurit dan aktivis politik. Bahkan seperti petugas partai. 13 prajurit ditembak, Mayor Jenderal di antaranya, masih menganggap pembunuh sebagai saudara yang harus dirangkul.

Memang cerita bapak Dudung selalu berkesinambungan. Mungkin profil politisi lebih cocok baginya ketimbang sebagai prajurit yang mendahulukan sikap ksatria siap tempur. Diam tetapi mematikan. Bukan ribut banyak omong yang hanya membuat gaduh.

Sangat tegas dan berani ketika melawan Baliho tapi takut melawan Egianus Kogoya, Elkius Kobak dan konco-konco.

*) Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan [FNN]

Bandung, 6 Desember 2021