Cak Nun: NKRI Akan Dimakmurkan, Tapi Bukan untuk Rakyat Indonesia

Akan tetapi saya dan kami semua diam-diam ditikam dari belakang. Kami dimunafiki: bilangnya satu dalam perbedaan, tapi diam-diam di belakang punggung menciptakan pecahan-pecahan, menanam perilaku yang menimbulkan amarah, kebencian, permusuhan dan dendam. Saya mengajak kaum Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan memahami metoda-metoda tasammuh atau toleransi, untuk secara rasional menata keIndonesiaan.

Tetapi diam-diam Kaum Muslimin digerogoti dari belakang: pergerakan-pergerakan sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya deIslamisasi penduduk kampung-kampung, deIslamisasi Kraton, hingga deIslamisasi Pemerintahan Nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.

Bahkan Kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau mayoritas berkuasa itu artinya diktator mayoritas dan intoleransi. Kalau minoritas berkuasa itu maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam dibunuh, itu perjuangan melawan radikalisme dan fasisme.

Kehancuran Islam adalah tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Penguasaan atas Kaum Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme Ras dan Agama para pelakunya, kalau Kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Ummat Islam dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau menolak mereka disebut memaksakan kehendak. Ummat Islam diinjak, kalau bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.

Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses pengikisan hak milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi, juga pencurangan cara berpikir tentang mayoritas-minoritas seperti itu sudah berlangsung.