Hersubeno Arief: Bagi Jokowi, Lebih Wingit New York atau Kediri?

Ada beberapa lokasi di kota Kediri yang jadi pantangan seorang presiden, dan tidak boleh dilewati kalau tak mau bernasib apes. Jadi yang paling aman bagi seorang presiden, hindari sejauh mungkin kota yang pernah menjadi pusat kerajaan Dhaha itu.

Belakangan pernyataan Pram diralat. Dia menyatakan konteks pembicaraannya dalam nada bercanda dan disalahpahami media.

“Kita tahu Presiden kita ini tidak takut ke mana-mana. Mau ke mana saja, ke Afghanistan saya juga mendampingi, apalagi hanya ke Kediri. Saya melihat berita sudah melenceng jauh dari substansi awal,” ujar Pramono.

“Sampai hari ini Pak Jokowi tidak pernah diundang ke Kediri. Tergantung undangannya saja,” tambahnya.

Okay lah. Sementara ini permasalahannya kita anggap clear. Presiden tidak pernah takut kemana pun. Apalagi cuma kota Kediri. Kita tinggal tunggu kapan Jokowi berkunjung ke kota yang identik dengan rokok PT Gudang Garam itu.

Ada baiknya untuk uji nyali, sekaligus uji sahih ucapan Pram, pemerintah setempat, atau warga kota Kediri segera mengundang Presiden Jokowi.

Kita buktikan Jokowi hadir atau tidak. Lagi pula Kediri selama ini selalu dikuasai oleh PDIP, partai yang menjadi basis utama pendukungnya. Harusnya menjadi prioritas Jokowi.

Apa gedung PBB sangat angker?

Urusan kota Kediri untuk sementara boleh dilupakan. Sekarang kita balik lagi ke kota New York.

Apa iya Kota New York, khususnya markas PBB yang sangat wingit, angker, keramat, bisa membuat Jokowi dilengserkan kalau sampai berani mengunjunginya?

Kalau tidak super wingit lantas apa penjelasannya, kok sampai lima kali berturut-turut tidak hadir?

Pada SMU PBB ke-74 tahun 2019 Wapres Jusuf Kalla kembali mewakili Jokowi. Itu menjadi kali terakhir Kalla bisa mewakili. Dia berharap, pada sidang ke-75 tahun 2020 Jokowi bisa hadir.

“Semua pemimpin negara lain bertanya-tanya. Mana Pak Jokowi,” ujar Kalla.

Kehadiran seorang kepala negara dalam forum internasional semacam itu sangat penting. Para kepala negara bisa menyampaikan agenda dan gagasan di pentas dunia.

Forum semacam itu biasanya dimanfaatkan untuk saling bertemu dan menjalin kerja sama. Sebuah kesempatan yang mahal, langka, dan sangat penting.

Pada 30 September 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang sangat terkenal di depan Majelis Umum PBB.  Pidatonya diberi judul “To Build the World A New”.

Bung Karno menguraikan soal Pancasila, perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, posisi Indonesia dalam masalah kolonialisme, dan usaha perbaikan organisasi PBB.

Presiden Soeharto dalam Sidang Majelis Umum Ke-47 PBB pada 24 September 1992 menyampaikan “Pesan Jakarta.”  Pesan tersebut  dirumuskan dalam KTT ke 10 Gerakan Non Blok (GNB) yang dilaksanakan di Jakarta antara tanggal 1-6 September 1992.