Hersubeno Arief: Nasib dan Masa Depan Umat Islam di Bawah Jokowi

Reuters mengutip pernyataan Romo Benny Susetyo, pemerintah berharap ada semacam reaksi balik, terutama dari kalangan birokrasi dan para aktivis.

Jadi ini semacam test case untuk menguji  kedalaman air.

Kebijakan ini sangat disadari akan menimbulkan penilaian bahwa rezim Jokowi sama dengan rezim otoriter Orde Baru. Kesetiaan kepada idiologi negara adalah wajib dan disamakan dengan kesetiaan kepada rezim penguasa.

“Kami sadar bahwa Pancasila digunakan di masa lalu sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, tetapi kami percaya itu adalah payung yang melindungi semua orang Indonesia dan merupakan alat untuk menyatukan melawan virus radikalisme,” tegas Romo Benny Susetyo.

Kebijakan ini bila sampai benar-benar diterapkan, implikasinya sangat serius. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah.

Pertama, seperti dinyatakan Romo Benny akan sulit untuk membantah bahwa rezim Jokowi sama dengan rezim Orde Baru.

Hal ini jelas tidak boleh terjadi karena sejak reformasi Indonesia menyepakati memilih jalan demokrasi dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bukan demokrasi prosedural, apalagi artifisial.

Selain kedaulatan rakyat (people sovereignity), fitur utama demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam mengekspresikan dirinya, termasuk kebebasan dalam beragama. Hal itu juga sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 45.

Mencurigai umat Islam, menjadikan umat Islam sebagai musuh adalah stereotipe Orde baru yang kemudian coba diperbaiki oleh Soeharto pada masa akhir jabatannya.

Kedua, menggunakan Pancasila sebagai indikator tingkat loyalitas seseorang kepada bangsa dan negara, namun bersamaan dengan itu menilai seseorang yang menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar sebagai radikal, jelas sebuah paradoks. Kerancuan berpikir yang salah kaprah.

Sila pertama Pancasila dengan jelas menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya seorang warga negara yang baik, adalah orang yang menjalankan agamanya dengan baik dan mengagungkan ke-esaan Tuhan.

Ketiga, hanya menjadikan umat Islam sebagai sasaran skrining, litsus sangat bertentangan dengan semangat yang disampaikan oleh Romo Benny. Pancasila sebagai payung untuk melindungi rakyat Indonesia.

Radikalisme, ataupun stigma-stigma negatif lainnya, bukanlah monopoli umat Islam. Sifat itu melekat pada seluruh umat agama-agama lainnya.

Keempat, kebijakan itu akan menjadi sebuah fakta nyata dan pembenaran bahwa rezim Jokowi anti umat Islam sebagaimana dituduhkan dan dipersoalkan selama ini.

Kelima, tujuan pemerintah menyatukan kembali bangsa yang terbelah tidak akan terwujud, karena kebijakan ini justru malah kian memperparah pembelahan yang terjadi.

Keenam, alih-alih mematahkan perlawanan umat, tak perlu diragukan lagi perlawanan umat Islam akan semakin mengeras. Soal ini pemerintah harus benar-benar sangat berhati-hati dan belajar dari sejarah.

Jika benar tujuan dari dibocorkannya dokumen ini untuk menjajaki seberapa dalamnya air (how deep the water), seberapa panasnya air (how hot the water), kalau boleh menyarankan, sebaiknya segera saja dibatalkan.

When you’re testing to see how deep water is, never use two feet.

– Benjamin Franklin

Nasehat dari Benjamin Franklin (1706-1790) seorang pemimpin revolusi dan penandatangan kemerdekaan AS perlu direnungkan “When you’re testing to see how deep water is, never use two feet.”

Jika Anda ingin menjajaki seberapa dalamnya air, please jangan gunakan kedua kaki. Anda bisa kelelep dan hanyut terbawa arus air deras. Sebuah penelitian menunjukkan, kodok akan langsung melompat ketika dimasukkan ke dalam air mendidih. Tapi kodok akan mati ketika air dipanaskan pelan-pelan. [end/hersubeno-arief.com]