Hersubeno Arief: Sering Absen di Forum Internasional, Ada Apa Dengan Jokowi?

Jokowi kembali tidak hadir dalam KTT negara-negara G-20 yang berlangsung di Argentina akhir November lalu. Kehadirannya kembali diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Bagi Indonesia sesungguhnya keanggotaan di G-20 sangat prestisius. Forum tersebut beranggotakan 19 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, ditambah Uni Eropa.

Indonesia adalah satu-satunya negara Asean yang masuk menjadi anggota G-20. Sementara untuk Asia, Indonesia adalah salah satu dari enam negara bersama Arab Saudi, Cina, India, Korea Selatan, dan Jepang.

Sebelum Jokowi berkuasa, Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat aktif di kancah internasional. Hal itu sesuai dengan amanat dalam Pembukaan UUD 45 bahwa tujuan Indonesia merdeka selain melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia, juga ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Amanat ini dijalankan dengan sangat baik oleh para kepala negara sejak Indonesia merdeka. Presiden pertama Bung Karno di tengah berbagai keterbatasan negara Indonesia, dikenal sebagai figur yang sangat berpengaruh di dunia.

Bersama Jawaharlal Nehru (India), Josip Broz Tito (Yugoslavia) , Gamal Abdul Nasir (Mesir) dan Kwame Nkrumah (Ghana), Bung Karno mendirikan Gerakan Non Blok (GNB) pada 1 Septemer 1961 di Beograd, Yugoslavia. GNB dibentuk oleh negara-negara berkembang untuk keluar dari bayang-bayang negara Blok Timur dan Barat.

Era Soeharto ditandai dengan berdirinya Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (Asean) pada 8 Agustus 1967 dengan kantor pusat di Jakarta. Indonesia juga memainkan peran besar sebagai “Saudara besar” di Asean. PM Malaysia Mahathir Muhammad dan PM Singapura Lee Kuan Yew dua tokoh besar pada masanya, selalu berkonsultasi kepada Pak Harto ketika akan mengambil keputusan penting berkaitan dengan Asean.

Indonesia juga memainkan peran penting sebagai penengah dalam konflik di Mindanao Selatan, Filipina. Konflik antara gerakan kelompok muslim MNLF dengan pemerintah Filipina itu ditengahi Indonesia sejak 1993 dan berakhir dengan kesepakatan damai pada 2 September 1996.

Pada era Soeharto Indonesia juga termasuk negara di dunia yang paling awal mengakui kemerdekaan Palestina (1988). Kedutaan besar Palestina kemudian dibuka di Jakarta pada 19 Oktober 1989.

Di Era Susilo Bambang Yudhoyono, MNLF kembali bertikai dengan pemerintah Filipina (2013), Indonesia juga kembali diminta sebagai penengah. Selain itu Indonesia juga menjadi penengah dalam konflik bersenjata di Lebanon dan sejumlah negara lainnya.

Pada masa Jokowi peran diplomasi internasional semakin surut. Pada saat terjadi genosida terhadap muslimin Rohingya di Myanmar, peran pemerintah Indonesia banyak dikritik, karena kalah jauh dibandingkan lembaga-lembaga kemanusiaan di dalam negeri.

Sekarang peran Indonesia kembali dipertanyakan dengan memburuknya situasi di Xinjiang, Cina. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tidak pada tempatnya Indonesia berdiam diri.

Bagi Jokowi yang tengah berjuang untuk menduduki kursi kepresidenan yang kedua kali, sudah seharusnya isu muslim Uighur menjadi ‘jualan” penting untuk meraih simpati pemilih Islam.

Sayangnya melihat pola hubungan Indonesia yang tidak setara dengan Cina, dan lemahnya kompetensi Jokowi dalam diplomasi internasional, sangat sulit berharap Jokowi dapat memainkan peran yang lebih besar.

Dalam berbagai forum internasional yang dihadiri Jokowi terlihat sering sangat kikuk dan tidak nyaman berada di tengah-tengah para pemimpin dunia.