Jin Buang Anak, Istilah yang Dipelintir (Bukan) SARA

Maka, pilihan narasi dan penggunaan istilah pada mereka yang acap bersinggungan dengan rezim, itu mesti hati-hati dan disampaikan dengan bahasa terukur. Tidak bisa bebas seperti mereka yang (sepertinya) kebal hukum, yang boleh seenaknya mengumbar narasi, bahkan sampai _nerobos_ unsur SARA sekalipun. Kepekaan menggunakan sebuah istilah, itu perlu. Sepertinya kepekaan itu agak kendor dipunya seorang Edy Mulyadi.

Karenanya, istilah “jin buang anak” seolah jadi kejahatan luar biasa, yang pelakunya jadi bulan-bulanan pihak yang tidak suka dengan gaya narasi yang dipilih Edy Mulyadi dalam aksi-aksinya selama ini yang kritis. Maka, momen istilah yang digunakan atas penolakan ditetapkannya Ibu kota negara (IKN) di Kalimantan, itu dipelintir pihak-pihak yang tidak menyukai pandangan politiknya. Dan istilah yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa dibuat menjadi kesalahan luar biasa.

Korban Istilah

Sikap Edy Mulyadi memang ksatria. Ia meminta maaf, jika ujarannya itu dianggap menyakiti warga Kalimantan. Sikapnya itu tidak perlu harus menunggu lama, atau setelah didesak-desak berbagai pihak. Edy Mulyadi tidak _mempeng_ merasa tidak bersalah. Menganggap apa yang disampaikannya itu cuma sekadar istilah untuk menggambarkan sesuatu tempat yang jauh atau terpencil. Pilihannya untuk sesegera mungkin meminta maaf, itu mestinya disikapi dengan baik. Dengan legowo.

Pilihan Edy Mulyadi meminta maaf, itu bagian dari kebesaran hatinya. Beda jauh dari Arteria Dahlan, yang pada awalnya menolak untuk meminta maaf pada etnis Sunda. Dan kemudian karena desakan berbagai pihak, mungkin juga desakan Ketua Umum partainya, PDIP, ia lalu meminta maaf. Apa yang disampaikan Arteria itu bukan istilah, tapi narasi yang jelas, bahwa ia keberatan bahasa Sunda digunakan di internal kalangan Sunda sendiri pada saat-saat rapat. Narasinya itu tafsir tunggal yang tidak bisa disangkal, bahwa ada unsur ketidaksukaan. Jadi tentu lebih dahsyat, jika ditarik pada proses hukum, dibanding istilah yang disampaikan Edy Mulyadi. Tapi setelah Arteria meminta maaf, maka berbagai protes masyarakat di Jawa Barat nyaris mereda.

Meminta maaf itu bentuk toleransi dahsyat, meski ia sebenarnya (bisa) dinilai tidak bersalah. Tapi seorang Edy Mulyadi memilih berdamai, itu sikap terpuji. Ia tidak ingin persoalan ini disalah tafsir tidak sebenarnya. Mestinya, sikapnya itu disambut warga Kalimantan, khususnya para pemimpin daerah, baik sipil maupun politik, terutama para Ketua Adat (Dayak) dengan uluran tangan tulus.