Keadilan Sosial dan Kematiannya: Sebuah Catatan Akhir Tahun

Korupsi Jiwasraya ini mengapa menjadi penting dibincangkan, karena unsur kesengajaan dalam merugikan perusahaan negara tersebut nampak nyata. Menariknya lagi, pembobol Jiwasraya ini, salah satunya, mempunyai kedudukan sebagai bagian organ Kepala Staf Presiden RI.

Pada saat ini rakyat tidak terlalu percaya lagi dengan agenda pemberantasan korupsi. Khususnya setelah presiden dianggap ikut melumpuhkan KPK, di mana DPR yang didominasi rezim, melakukan perubahan UU KPK. Sementara di waktu lainnya, presiden memberi Grasi pada terhukum koruptor, eks Wagub Riau, beberapa waktu lalu.

Perkembangan pesat korupsi saat ini diikuti dengan berkembangnya prilaku hedonis dikalangan elit kekuasaan. Skandal direksi Garuda dalam dimensi barang luxurious, seperti Harley Davidson dan Brompton dan dimensi sex, merupakan bentuk hedonis kaum elit kita. Tentu saja lomba pamer elit ini terjadi dibanyak elit lembaga negara, meski presidennya pada kampanye selalu dikatagorikan merakyat.

Kecenderungan perilaku korupsi dan hedon kelihatannya berbanding lurus dengan penguasaan negara oleh kalangan orang-orang kaya. Lembaga DPR-RI yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kekayaan ratusan milyar, menteri2 yang super kaya, dll., menjadikan suasana “gemerlapan” dielit lebih mewakili kemiripan dengan elit-elitPrancis dahulu ketika dikendalikan raja dan para Baron.

Tantangan Bangsa Kita Ke Depan

Suara Said Aqil Sirodj dan Habib Rizieq Sihab apalagi ditambah suara SBY sudah menunjukkan buruknya situasi kita saat ini. Situasi itu meliputi: 1) apa tujuan bernegara? dan 2) apakah ada jalan baik di depan?

Tujuan bernegara adalah Keadilan Sosial, apakah mau di NKRI harga mati maupun di NKRI harga “bargain”. Negara dalam bingkai Kapitalisme, seperti pidato Ketum Nasdem, Surya Paloh, beberapa bulan lalu di Universitas Indonesia, pasti akan membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin terpinggirkan.

Negara tidak mempunyai makna sama sekali apabila grafik pemerataan tidak membaik dari waktu ke waktu.

Apabila SBY, misalnya, pernah menunjukkan perubahan signifikan dari grafik pemerataan, perlu diteliti lebih lanjut, sejauh apa “cost” yang dibayarkan untuk itu?

Jika “cost” nya terlalu besar, maka kita harus mencari alternatif berbelok dari  jalan Kapitalisme yang kita lalui.

Untuk mengganti jalan Kapitalisme ini, baik ala barat maupun pro Beijing, diperlukan jalan revolusioner. Karena kita harus menghancurkan struktur yang dikuasai oligarki saat ini. Christina Chua mengatakan “a removal of this oligarchy from power would require a new system, which, however, can only be realised if the general hierarchies of power turned upside down, as it only happens through revolutions”.

Perubahan ketimpangan ekonomi di barat, dalam Thomas Pikkety on Capital, yang ditelitinya sepanjang 1810-2010, 200 tahun, ada benturan ideologi dan perang dunia di eropa, yang mampu menggeser ketimpangan dari Gini 0,7 menjadi sekitar Gini 0,3 selama 200 tahun itu.

Di mana ada jalan damai dalam menciptakan keadilan sosial (Shared Prosperity)?