Siapa Pembuat dan Penebar Covid-19? (Bagian ke-3)

Hebatnya, gelombang 5G bisa dikirim kemana-mana sesuai kepentingan dan keinginan. Mau di arahkan ke pihak lawan misalnya, tinggal mengarahkan satelit ke sasaran: “selesai.” Inilah kecanggihan sekaligus kerawanan teknologi 5G jika ia diaplikasikan pada teknologi perang.

Barangkali, bila untuk infrastruktur atau sekedar jaringan komunikasi tidak menjadi soal sebagaimana 30-an negara yang sudah menggunakan 5G. Masalah krusial muncul, ketika 5G dikaitkan situasi geopolitik teraktual dan dinilai sebagai teknologi perang melalui penggunaan drone atau pesawat nirawak.

Sekali lagi, drone merupakan weapon dalam perang masa depan. Ia bisa terbang tinggi melalui gelombang 5G dan tak terpantau oleh 4G yang jangkauannya berkisar dua kilometer di atas permukaan bumi. Dengan gelombang 5G, drone mampu terbang ribuan kilometer di atas permukaan bumi.

Kalau kompetisi 5G saat ini khususnya AS versus Cina, masih perihal keprotokolan, kendati praktiknya sebatas saling klaim bahwa produknya terbaik. Semacam perang iklan.

Balik lagi ke kondisi geopolitik. Ya. Ibarat tumpukan jerami di ladang kering, saat ini — atmosfir politik di Laut Cina Selatan tinggal menunggu pemicu, maka akan meletus peperangan besar di abad ke-21 antara Cina melawan AS dan sekutu.

Akan tetapi, konon Cina tidak mau berperang dengan siapapun terutama melawan AS dan sekutu. Selama ini, ia cuma show of force (unjuk gigi) dan sekedar shock and awe alias gertak-gertak sambal saja.

Alasan kenapa Cina enggan head to head melawan AS dan sekutu, ilustrasi jawaban mungkin seperti pepatah Jawa: “Menang dadi arang, kalah dadi abu”. Tampaknya, karakter dagang Cina lebih kuat ketimbang naluri dan kharakter juang (perang)-nya.

Adapun alasan lainnya, semenjak merdeka tahun 1949, ia tak pernah terlibat dalam pertempuran besar secara langsung. Pernah berperang melawan Vietnam, itu pun kalah. Dipukul mundur oleh Vietnam. Sebelum merdeka (1937-1945) pun dibuat luluh lantak oleh Jepang di Manchuria. Ya. Cina amat miskin pengalaman berperang.

Mungkin, jika merujuk jumlah pasukan dan modernisasi alat dan mesin perang, Cina hampir setara AS. Akan tetapi, faktor mental atau nyali perang, misalnya, atau fighting spirit, militansi dan lain-lain masih perlu uji lapangan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi AS yang sudah malang melintang serta telah menggelar ratusan kali peperangan, baik perang besar dan kecil, baik perang secara langsung maupun di balik layar, atau perang memakai pihak ketiga (proxy war), ataupun perang secara nirmiliter (asymmetric war) di pelbagai belahan bumi.

Lantas, bagaimana Cina menghindar agar tidak terjadi perang terbuka secara militer dengan Paman Sam?
Pepatah leluhur Cina menyatakan: “Membuat periuk berhenti mendidih, singkirkan bahan bakarnya”. Nah, tampaknya ia mengamalkan siasat perang kuno: “Mencuri kayu bakar dari bawah periuk,” meski dengan kondisi dan kemasan berbeda.

Maka, ketika merayakan pergantian tahun 2019 – 2020, Cina sengaja show of force di langit Shanghai menampilkan kemajuan teknologi internetnya. “Sistem 5G yang bisa berjalan.” Atraksi dan display matrix coordination dengan melibatkan 2000-an drone di angkasa tanpa ada senggolan atau tabrakan sedikit pun. Bahkan di ujung atraksi, Cina membuat simulasi ‘orang berlari di langit’ dengan ribuan drone. Sungguh luar biasa.