Siapa Pembuat dan Penebar Covid-19?

Flashback sejenak. Tahun 1944, selaku pemenang PD I dan PD II, AS menggelar Bretton Woods Agreement yang diikuti 44 negara untuk menggagas sistem keuangan global.

Inti kesepakatan: bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi melainkan dolar yang diback up atau dijamin emas. Hanya dolar yang memiliki nilai intrinsik. Semua negara mengacu dolar. Dan AS menjamin setiap dolar dicetak ada back up emas.

Tahun 1970-an harga emas menggila dan dolar terkapar. AS menyerah. Ia tak sanggup menjamin setiap dolar dengan emas. Secara logika, jumlah emas terbatas, sedang kebutuhan dolar terus meningkat.

Singkat cerita, tahun 1971 AS keluar dari kesepakatan Bretton Woods. “Dolar menceraikan emas”. Dunia pun terhenyak. Ini yang ditakutkan negara-negara. Nasi sudah menjadi bubur, dolar terlanjur mengglobal menjadi alat transaksi dunia.

Jadi, uang yang beredar kini sebenarnya tanpa jaminan emas. Semua mata uang mengambang tanpa nilai intrinsik. Saat ini, percetakkan uang hanya berbasis surat utang, karena ada aturan IMF semenjak Perjanjian Bretton Woods, emas tidak boleh dijadikan alat tukar dan hal ini membuat dolar AS jumawa. Tak punya lawan.

Tahun 1974, Henry Kissinger manuver ke Raja Arab agar dolar digunakan sebagai alat transaksi dalam perdagangan minyak di Liga Arab. Raja Faisal setuju, maka lahirlah: “Petro Dollar” yang semakin mengglobalkan dolar AS. Kenapa? Minyak merupakan kebutuhan utama semua negara, maka otomatis semua cadangan dan devisa negara-negara niscaya dalam bentuk dolar.

Itulah sekilas latar kekhawatiran kaum globalis cabal atas hiper-inflasi, karena ada indikasi beberapa adidaya mulai mencapakkan dolar AS secara bertahap sebagai alat transaksi perdagangan. Kalau hal ini tak dicegah, kondisi itu berpeluang menimbulkan “tsunami dolar”. Ya. Dolar berpotensi pulang basamo, mudik ke Negeri Paman Sam menjadi kertas-kertas tak berharga.

Retorika: “Bukankah akan ada waktu dari masa tentang keruntuhan Dinasti Amerika?”

Lantas, apa langkah kaum globalisme mencegah agar tak terjadi hiper-inflasi?

Sylvain menulis, mereka melepas Covid19 ke berbagai negara yang diawali di Wuhan, Cina, kemudian menyebar ke Uni Eropa bahkan AS, akhirnya menjalar di seluruh dunia.

Sebenarnya isu Corona19 tidak jauh berbeda dengan virus sebelumnya seperti SARS, misalnya, atau kolera, flu burung dll tetapi karena gemuruh media mainstream dan framing berita begitu gebyar meliput Covid19 sehingga timbul kepanikan publik.

Nah, dari perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris) yang berpola: Isu-Tema atau Agenda-Skema menilai, bahwa Corona19 sebagai “isu” relatif sukses. Mengapa? Selain mampu membentuk opini publik, isu tersebut juga berhasil menciptakan kepanikan global.

Lalu, agenda apa yang dikehendaki mereka?

Tidak lain adalah lockdown dan berbagai varian seperti social distancing, bermasker dan lain-lain sesuai clue WHO. Dan dampak clue tersebut di satu sisi, mengakibatkan lumpuhnya beragam aspek kehidupan terutama sosial budaya, ekonomi bahkan religi; banyak perusahaan gulung tikar, lapangan kerja menciut, marak pengangguran, pasar modal mengalami crash, dan triliunan dolar AS “lenyap” dari peredaran guna membendung tekanan. Meski pada sisi lain, ada sektor yang ‘panen’ terutama industri farmasi dan jasa kesehatan.