Pengkhianatan Kaum Intelektual dan Mandegnya Pembangunan Manusia Indonesia

Sementara, segelintir intelektual, yang tidak mau mengompromikan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi uang dan jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi tangan-tangan kekuasaan. Seperti yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi “manusia merdeka” dan bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik” nya Gramsci atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky.

Stagnasi IPM dan kemerosotan berbagai bidang

Dengan pemahaman keliru tentang pembangunan manusia, diikuti kebijakan tidak tepat, serta absennya peran organik dan transformatif kaum intelektual, sulit dihindari terjadinya stagnasi pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.

Meskipun bergabung dalam IPM kategori tinggi, Indonesia masih berada di tangga-bawah kategori ini. Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam dan Malaysia. IPM Indonesia juga jauh lebih rendah dari rerata IPM kawasan Asia-Timur dan Pasifik, yang mencapai 0.747.

IPM merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia, yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living).

Perlu digarisbawahi, IPM beserta indeks turunannya seperti indeks pembangunan gender, indeks ketimpangan gender, dan indeks kemiskinan multidimensi, hanya penggalan dari keseluruhan “cerita” pembangunan manusia. Dirancang untuk menyederhanakan konsep besar pembangunan manusia dan memastikan aplikabilitasnya sebagai panduan, target dan instrumen monev pembangunan.

Di luar IPM, namun, masih dalam kerangka pembangunan manusia, Indonesia mengalami kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, demokrasi yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Menyebabkan negara besar ini tertinggal dari negara-negara miskin seperti Etiopia dalam indeks persepsi korupsi dan keberlanjutan pangan, dan Timor Leste dalam indeks demokrasi dan kebebasan.

Sekarang, Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa. Tapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari amanat Pancasila dan konstitusi.

Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip hasil riset Ahmet T. Kuru (2019), profesor ilmu politik San Diego State University, asal Turki, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam, sejak abad 12, seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, spiral kekerasan dan otoritarianisme.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru.[sumber: FNN]

Penulis: Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe)
Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi