Sentimen Kesukuan Arab dan Bagaimana Rasulullah Mengikisnya

Persoalan utama yang dibedah adalah ironi tentang berkembangnya gengsi nasab dan kesukuan yang hingga kini terus berkembang itu. Keturunan Arab yang kini hidup di Indonesia banyak juga yang berpegang teguh pada gengsi tersebut. Hasyim membuka bahasannya dengan mengupas masalah sistem kesukuan di Arab.

Sistem kesukuan Arab ini ternyata berkait dengan sistem kesukuan Persia Kuno. Sehingga dalam kajian tentang sistem kesukuan di Arab itu pun terselip tulisan tentang sisten kesukuan Persia Kuno.

Di situ dikatakan bahwa Persia pernah menjajah Arab Selatan. Masa sebelum Rasulullah SAW datang, alias zaman Jahiliyah, aroma kesukuan tercium sangat kuat.

Sehingga saat itu muncul istilah mudahrra dan hajin. Keduanya adalah sebutan untuk orang Arab yang garis keturunannya tercampur bangsa lain.

Mereka yang lahir dari ibu Arab dan ayah bukan Arab disebut mudharra. Sedangkan hajin adalah mereka yang lahir dari ibu bukan Arab dan ayah Arab. Saat Rasullah SAW datang, sistem seperti itu diruntuhkan. Mulanya, reformasi yang dijalankan utusan Allah itu mendapat banyak tantangan.

Tapi akhirnya sebagian besar masyarakat mau menerimanya. Buktinya pernikahan ‘silang’ pun berlangsung tanpa hambatan.

Manusia tidak lagi digolongkan berdasar garis keturunan. Sepeninggal Rasulullah SAW, lahir generasi yang disebut Khulafaur Rasyidin. Di awal masa ini, semangat persatuan masih kuat.

Orang Arab sama-sama bergerak dalam bendera Islam. Tapi, pada masa khalifah Utsman bin Affan, semangat keturunan dan kesukuan mulai muncul kembali. Itu terlihat dari langkah khalifah Utsman yang banyak menunjuk saudaranya sebagai pejabat. Setelah masa Khulafaur Rasyidin lahir dua dinasti yang kembali diwarnai semangat suku dan keturunan.

Secara umum kedua dinasti tersebut dinamai Dinasti Umayyah dan Dinasti Abasyiah. Terlihat, di masa Umayyah aroma kesukuan dan keturunan lebih kuat dibanding Abassiah.