Puasa di Negeri Sakura (4): “Islam Eksklusif”

Puasa di hari ke empat makin semangat. Sejak siang istri saya sudah sibuk di dapur dan masak banyak sekali makanan. “lho..kok banyak sekali?”, tanya saya. Istri saya bilang kalau sore ini akan ada party di lab untuk merayakan dirinya yang telah selesai melakukan sidang. Saya lalu tanya,”kok repot-repot, kan biasanya di restoran?”. Istri saya bilang, “di restorankan biasa, lagian kalau di restoran gak bisa makan juga, mending dimasakin aja, sekalian da`wah bil hal, mengenalkan makanan halal”.

Di jepang orang senang sekali party, termasuk orang-orang di kampus. Ada mahasiswa baru disambut party, masuk awal semester disambut party, masuk musim dingin disambut party, sedikit-sedikit party, termasuk jika ada yang lulus juga dirayakan dengan party. Lab party bisanya dilakukan oleh professor dan anggota lab, bisa dilakukan di restoran bisa juga masak bersama di lab. Selama ini kalau ada party dengan orang-orang jepang saya adalah yang paling “menderita”.

Saya harus membayar dengan biaya yang sama, tapi saya tidak bisa banyak makan makanan yang tersedia, karena memang tidak mudah mendapatkan makanan yang halal. Meskipun orang jepang berusaha menyediakan makan makanan yang mereka anggap saya bisa memakannya, seperti ayam dan daging sapi, tetap saja saya tidak bisa memakannya.

Orang jepang hanya paham bahwa orang Islam tidak boleh minum alkohol dan makan babi, jadi selain itu mereka anggap boleh. Anggapan seperti ini seringkali terkonfirmasi oleh orang-orang Islam sendiri. Tidak sedikit orang Islam di Jepang yang menganggap “halal” adalah asal bukan babi dan alkohol. Sehingga ketika saya tidak makan ayam yang mereka sediakan, mereka menjadi bingung, dan seringkali tidak mudah menjelaskannya.

Konsep halal ini memang belum ditangkap dengan baik oleh kebanyakan orang Jepang yang tidak beragama Islam, juga oleh sebagian orang Islam sendiri. Bahkan sebagian orang Islam ada yang menganggap konsep halal ini adalah konsep yang menyebabkan umat islam menjadi umat yang eksklusif, tertutup dan tidak bisa bergaul.

Seorang teman yang sedang kuliah di Swedia mengatakan kepada saya, “saya tau sekarang mengapa orang Eropa benci Islam”. Saya tanya, “mengapa?” Dia bilang, “orang Islam tidak makan kecuali makanan halal dan tidak minum alkohol, hal ini menyebabkan orang Islam tidak bisa bergaul, selain itu hal ini mengancam bisnis orang-orang Eropa, karena orang Islam hanya mau makan daging yang dijual orang Islam sendiri.” Dengan semangatnya dia bilang,”kalau konsep ini masih dipertahankan Islam tidak akan berkembang, karena Islam eksklusif”.

Sepintas lalu perkataan teman saya itu seolah terlihat benar, ditambah lagi dengan begitu semangatnya dia menyampaikan hal itu. Tapi saya katakan pada dia bahwa perintah makan makanan yang Halal adalah bagian dari ajaran Islam yang sudah diterapkan sejak zaman nabi Muhammad SAW. Saya tegaskan kepada teman saya itu, “bukankah di zaman nabi menyebarkan Islam dulu, masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat yang suka dengan arak? Suka dengan makanan yang haram? Tapi toh Islam berkembang , menyebar ke seluruh dunia dan terus bertahan sampai hari ini”.

Konsep halal sama sekali tidak menyebabkan orang muslim menjadi ekslusif, justru konsep ini perlu kita jelaskan dalam kerangka menyelamatkan kehidupan kemanusiaan. Karena konsep halal mengajarkan kita untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang menyehatkan raga dan jiwa. Halal tentu bukan hanya sekedar zatnya, tapi juga proses dan cara mendapatkannya.

Daging sapi halal hanya jika disembelih dengan cara menyebut nama Allah swt. Daging sapi yang disembelih dengan menyebut nama Allah juga hanya akan menjadi makanan yang halal di makan kalau di beli dengan uang yang halal. Meski daging sapi yang disembelih dengan menyebut nama Allah halal, maka menjadi haram dikonsumsi kalau kita memperolehnya dengan cara mencuri. Jadi halal sesungguhnya konsep yang komprehensif.

Puasa seharusnya melatih kita untuk menahan diri dari memakan makanan yang tidak halal. Baik tidak halal secara zat, secara proses, tidak halal dalam cara memperolehnya. Makanan halal akan sangat berpengaruh pada kesehatan raga dan jiwa kita. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto cukup membuktikan hal tersebut. Hasil penelitian Dr. Masaru menunjukkan bahwa makanan ternyata mampu merespon kata-kata.

Jika kita mengatakan kata-kata yang baik pada makanan, maka struktur molekulnya menjadi baik, dan sebaliknya makanan yang disebutkan kata yang buruk struktur molekulnya menjadi buruk bahkan mengerikan jika dilihat. Daging yang disembelih dengan mengucap nama Allah swt tentulah akan menjadi baik, karena Allah swt adalah sumber kebaikan itu sendiri. Wallahu`alam. (Mukhamad Najib)