Pelangi Retak (Bag. 2)

Beberapa jam berikutnya aku menghabiskan waktu untuk mengawasi dia bekerja. Mengutak-atik laptop dan komputer di ruangan server yang begitu dingin…

“Hhh! Begini ini kalau nggak bisa bikin server sendiri. Masih menggantungkan perusahaan lain.”

“Kenapa, Pak?”

ADSL-nya macet. Sudah lima hari yang lalu. Server cadangan sudah tak mampu lagi memback-up semua informasi yang masuk. Kapasitasnya rendah. User juga gitu! Maunya terima beres. Nggak peduli orang IT pusing tujuh keliling!”

“Lalu?” tanyaku culun.

“Kok lalu? Kamu lulusan informatika kan? Kok bego, sih! Atau memang belum punya pengalaman?”

Mata itu melotot ke arahku. Tapi aku merasa tatapan itu sedikit bersahabat. Bahkan, dari serangkaian pembicaraan kami, baru sekarang “Si Sombong” itu memanggilku dengan “sebutan kamu”. Bukan lagi “Anda”.

“Ma..af Pak! Saya hanya bingung. Apa yang harus saya kerjakan?”

“Oohh.. Ya! Saya mengerti. Ini hari pertama Anda bekerja. Ya, sudah. Sekarang anda duduk saja. Saya akan hubungi Telkom lagi. Sepertinya tidak mungkin lagi mengandalkan server cadangan itu untuk selanjutnya…”

Hhhhh!!! Aku menarik nafas panjang. Lega sekaligus kesal. Setelah beberapa jam dia baru menyuruhku duduk. Setelah seluruh pembuluh vena di kakiku melebar entah berapa senti… dan satu lagi yang kucatat. Dia kembali memanggilku dengan sebutan “Anda”.

Kulihat manajer pendek itu meraih gagang telepon dan menekan beberapa angka. Aku hanya bisa diam menatap lantai. Sambil menunggu perintah selanjutnya.

“Hei, kenapa menunduk? Ini juga bagian dari pekerjaan Anda nantinya! Jadi, perhatikan semua yang saya kerjakan!”

Ya, Tuhan… punya hati nggak sih orang itu?

Kutarik nafas dalam-dalam. Benar-benar keterlaluan! Aku tak tahu lagi sudah berapa kali dia membentakku. Aku ingin berontak tapi akhirnya suaraku tertahan. Hanya mataku yang kualihkan ke arah telepon yang digenggamnya.

“Halo, Pak… Saya Aan Ardhianti dari Pena Mas!”

“Ya, Pak… saya mau mengulang laporan saya kemarin. ADSL kami macet sejak tiga hari yang lalu. Dan sampai saat ini belum ada petugas yang memperbaikinya…”

Tiga hari? Kenapa tadi dia bilang lima hari? Hah…dasar orang aneh!

“Oh ya, ya Pak… Ok!”

“Tapi Bapak tahu kan? Kami online 24 jam. Jadi kami tidak bisa menunggu terlalu lama!”

“Ya, saya tunggu!”

“Terima kasih.”

“Siang…”

Bruakkk!! Ah, hampir lepas jantungku rasanya. Gagang telepon dibantingnya dengan kasar. Diikuti sumpah serapah tak jelas yang mendesis dari bibirnya.

“Ok! Sekarang kita nggak bisa bekerja sebelum ada petugas yang memperbaiki sistem ADSL itu datang. So, waktu kita gunakan untuk perkenalan. Setuju?”

Sudah tidak berminat! Kalimat itu akhirnya hanya kusimpan dalam hati. Aku tidak ingin mencari masalah.

“Kenapa diam? Nggak mau! Ya, sudah!”

Ya ampun… temperamen banget sih!

“Maaf, Pak. Saya diam karena berpikir bahwa seharusnya itu yang harus saya lakukan sejak pertama kali saya bertemu bapak tadi.”

“Yah, gitu aja kok “mbulet”. Bilang aja “setuju”. Titik. Lebih hemat kata-kata. Atau…mungkin, respon Anda memang lambat sekali ya? Kalo semua komputer di kantor ini meniru cara kerja otak Anda, bisa bangkrut perusahaan…”

Ya, Allah… beraninya dia menghina ciptaan-Mu. Sejelek-jeleknya otakku pasti masih lebih pintar daripada komputer yang hanya benda mati itu. Sayang, aku malas berdebat. Jadi, kubiarkan saja dia mau bilang apa. Masa bodoh!

“Ok! Siapa nama Anda?”

Benar-benar aneh. Dari tadi kurasa, sudah lebih dari lima kali dia menambahkan kata “OK” dalam kalimat-kalimatnya.

“LILI.”

“Oh, sorry. Saya lupa kalau respon Anda lambat. Jadi saya harus mengulang pertanyaan saya. Siapa nama lengkap Anda?”

“Rienita Vilyastuti.” tukasku kesal. Sampai kapan dia akan terus menghinaku?

“Jadi, Lili panggilan Anda?”

Aku hanya mengangguk. Telingaku sudah cukup sakit mendengarkan kata-katanya. Dan diam adalah pilihan terbaik kukira.

“Tidak bertanya nama saya? Oh ya, saya lupa. Anda toh bisa membacanya di sana!” Pandangannya mengarah ke dinding di atas kursi kerjanya. Sebuah nama terpampang besar-besar di sana. Tepat di bawah tulisan IT MANAGER.

Aan Ardhiantie. Tanpa sadar aku mengernyitkan keningku. Nama itu kurasa lebih cocok untuk seorang wanita? Jangan-jangan dia… Ah!

“Itu nama Bapak?” Rasa penasaran memaksa kata-kata itu melompat begitu saja dari bibirku.

“Kenapa? Itu memang nama saya. Nama pemberian orang tua saya. Mungkin memang terlalu indah untuk seorang laki-laki. Oh ya. Anda bisa memanggil saya Pak Aan, Mas Aan, Kak Aan. Atau bos atau apalah. Yang jelas, saya masih single, jadi belum pantas dipanggil bapak. Tapi kalau Anda mau memanggil saya “Mas” saya rasa anda cukup tahu diri dan punya etika bahwa ini kantor.”

PD sekali sih orang ini. Masalah panggilan aja kok “Mbulet”. Huhh…

“Status Anda?”

“Belum meni…”

“Oh, masih single juga? Baguslah! Tapi jangan takut, saya tidak akan mengganggu Anda. Dan siapapun yang bernama “WANITA”. Ok?”

Manajer sombong itu menekan suaranya pada kata “wanita”. Memoriku membuat kepalaku refleks menoleh ke arah tulisan yang telah membuatku galau sejak pertama kali menginjakkan kakiku di ruangan ini.

“BE CAREFUL WITH A WOMAN”

“Oh, tulisan itu? Maaf kalau menyinggung perasaan Anda!” ujarnya seakan mengerti arti tatapanku.

“Bapak tidak menyukai wanita?”

“Bukan tidak suka. Saya hanya malas berinteraksi dengan makhluk itu!”

“Berarti seharusnya saya tidak berada di sini?” tanyaku datar tanpa ekspresi.

“HRD yang memilih Anda. Jadi, saya kira Anda adalah orang yang tepat. Meskipun… sampai sekarang, saya belum bisa melihat ketepatan itu. Tenang saja! Saya cukup profesional. Saya tidak akan mencampur adukkan masalah pekerjaan dengan urusan pribadi. Ok?”

“Sepertinya Bapak punya masa lalu yang kurang menyenangkan dengan seorang wanita.”

Entah setan mana yang membuatku bisa bertanya seperti itu. Pertanyaan yang terlalu sensitif kukira.

“Tepat!”

“Boleh saya tahu?”

Bodoh! Kenapa pula aku jadi sok akrab? Jangan bermain api, Li!

“Mmm… Anda tahu rasanya kehilangan? Kehilangan itu sangat menyakitkan. Perih. Dan itu yang membuat saya tidak ingin mengenal wanita. Cukup sekali saya terluka!”

Dia berhenti. Tapi aku tak ingin menyela ceritanya. Dia terlalu jujur kurasa. Dan kejujurannya telah membuatku menyesal kenapa membiarkan diriku masuk terlalu jauh dalam kehidupan pribadinya. Dia toh bukan siapa-siapa. Bahkan baru kukenal beberapa jam yang lalu sebagai sosok lelaki yang sangat menyebalkan!

“Saya sudah mempersiapkan segalanya. Rumah, mobil bahkan undangan. Tapi ternyata… dia mendahului saya melihat kehidupan abadi…”

Aku merinding melihat tatapannya mendadak kosong. Oh… sejauh itukah kematian mengubah pribadinya?

“Ah, sudahlah. Perkenalan ini terlalu aneh untuk dilanjutkan, ” ujarnya. Sambil melirik arlojinya dia menyambung kalimatnya.

“Kita menghabiskan dua puluh menit untuk perkenalan ini. Sekarang sudah jam makan siang. Silahkan beristirahat. Saya akan keluar sebentar! Sepertinya ada yang harus saya cek di bagian Finance.”
Dia beranjak dari kursinya. Melangkah keluar tapi… kemudian langkahnya tertahan.

“Oh ya… Selamat Datang di Pena Mas Media” serunya lepas dari ambang pintu. Begitu lepas sampai-sampai aku tak melihat beban itu lagi di matanya. Beban yang begitu berat yang tadi kulihat mengantung dalam tatapannya. Ah, sejak kapan aku menjadi sok perhatian pada orang yang telah menghinaku habis-habisan hanya dalam waktu beberapa jam? (bersambung)

Tentang Penulis:

Dewi Anjani, lahir pada 20 September 1985, dengan latar belakang pendidikan S1 Akuntansi Unibraw. Status menikah dan dikaruniai seorang puteri. Prestasinya di bidang penulisan antara lain; Nominasi lomba cerpen Direktorat Kepemudaan tahun 2004, cerpen dibukukan dalam Antologi “Dari Zefir hingga Puncak Fujiyama”, CWI, Jakarta. Nominasi lomba cerpen UNISBandung tahun 2005 dan dibukukan dalam Antologi “Dilarang Menangis”, Bandung. Cerpen bersama FLP Malang dibukukan dalam antologi “Dua Pilihan”, Syaamil, Jakarta.