Pelangi Retak (Bag. 4)

Hari ketiga masih menjadi hari yang menyenangkan bagiku. Meski lelah aku akhirnya dapat menikmati pekerjaanku sekarang. Tak jauh berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya. Back up, controlling system, planning program, clearing database dan lain-lain.

Manajer aneh itupun perlahan sudah mulai menanggalkan kecerewetannya. Tapi, ternyata…jam-jam selanjutnya tak semulus dugaanku. Tepat pada jam makan siang, Pak Aan membuat keributan. Kukatakan keributan karena aku yakin bahwa seorang manajer tidak mungkin melakukan hal sebodoh itu.

Bruakk!! Dia melempar sebuah buku yang cukup tebal dari arah ruangannya. Tepat mengenai mejaku yang hanya tersekat dinding tipis dengan ruangannya. Buku itu jatuh tepat di atas gelas tehku dan hancurlah benda yang tak bersalah itu. Aku hanya bisa menatap kepingan-kepingan kaca yang berhamburan dengan mata yang ikut mengaca.

Bulu kudukku bergidik. Entah perasaan apa saja yang bercampur aduk di hatiku saat itu. Takut, heran, kaget, marah, bingung dan entah apa lagi. Yang jelas, aku sempat menatap manajer aneh itu dengan tatapan tak berkedip dan saat itulah tatapan kami bertemu. Duh! Mata itu begitu berat. Menyimpan luka yang cukup dalam, kukira.

“Maaf, Bu Rien…saya labil. Saya benci pada diri saya sendiri.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, manajer aneh itu masuk ke ruangannya dan menutup pintu dengan kasar. Beberapa menit kemudian yang kudengar adalah lantunan lagu-lagu populer dari sebuah grup musik terkenal. Syairnya yang berisi tentang penyesalan dan perpisahan membuatku gundah. Belum lagi suara sesenggukan yang kudengar sayup di antar lantunan lagu itu. Menangiskah dia? Aku diselimuti kebingungan.

Ada apa sebenarnya di balik masa lalu laki-laki bertubuh kecil yang sok perfeksionis itu? Oh, sayang. Dia laki-laki. Aku tidak mau mengambil resiko untuk masuk lebih jauh dalam kehidupannya. Lagipula, siapa aku? Toh, aku hanya karyawan baru di sini. Mungkin dia memang atasanku. Tapi kami punya kehidupan sendiri-sendiri. Rasanya, belum saatnya untuk berempati pada masalahnya. Aku yakin, duniaku dan dunianya benar-benar berbeda…

Entah berapa lama aku memandangi pintu ruangannya sambil melamun ketika kemudian kulihat tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan sosok manajer aneh itu terlihat begitu lemah. Berdiri dengan kepala terkulai di sudut pintu. Mirip orang yang baru saja bangun tidur dan berusaha menemukan kembali sisa-sisa tenaganya. Matanya memerah saga terlapisi sisa air mata. Tak salah lagi, dia pasti baru saja menangis.

“Bapak teringat dia?”

Bodoh!!

Untuk kesekian kalinya aku mengulangi kebodohanku. Entah setan mana yang membuatku berhasil mengumpulkan keberanian hingga mampu melontarkan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang kurasa terlalu lancang. Ah, kenapa harus bermain api? Tapi aku tidak pernah bermaksud untuk memulai. Aku hanya tidak mau dikatakan wanita tak berperasaan. Masa, atasannya sedih tidak menunjukkan sikap simpati sama sekali? Aku juga tidak mau dibilang sok perhatian. Lagipula, buat apa perhatian sama orang menyebalkan seperti dia.

“Saya benci pada diri saya sendiri. Ah, tapi sudahlah, mungkin memang beginilah kehidupan.”

Nada suaranya memang pasrah. Tapi aku tidak melihat kepasrahan di matanya. Ada ambisi terpendam yang tertanam di sana. Tergambar sebuah kekecewaan dan ketidakmampuan untuk menerima kenyataan dari sikapnya.

“Bu Rien nggak makan siang?”

“Eh, masih ada yang belum selesai, Pak!”

“Bu, kalau ngikutin pekerjaan ya nggak akan ada habisnya. Nggak pa-pa. Dipending aja dulu. Ini kan memang jam istirahat.”

Ah, kukira Andalah yang lebih butuh istirahat dan refreshing, Pak! Namun kata-kata itu akhirnya tak jadi kuucapkan.

“Iya, Pak, ” aku menata kertas-kertas di hadapanku. Sebenarnya perutku sudah sejak tadi minta diisi tapi lapar ini mendadak hilang setelah melihat kepingan pecahan gelas tehku. Kerasnya suara lemparan buku tadi pun sudah cukup membuat mood-ku untuk melakukan sesuatu mendadak pergi entah ke mana. Baik untuk makan atau meneruskan pekerjaan.

Aku tetap tak beranjak dari tempatku duduk. Makan siang yang kupilih adalah sepiring novel “Negeri Senja” karangan Seno Gumira Ajidarma yang baru kubeli sekitar seminggu yang lalu namun belum selesai kubaca. Kupikir manajer aneh itu sudah pergi makan siang sehingga aku bebas menghabiskan waktu untuk menekuni hobi membacaku. Tapi ternyata laki-laki pendek itu masuk lagi.

“Lho, bu Rien nggak makan?”

“Sudah, Pak.” Jawabku pendek. Dahinya berkerut mendengar jawabanku.

“Di mana?” Tanyanya lagi.

“Makan siang kan nggak harus melahap nasi, Pak! Saya makan siang di sini dengan ini…” kuangkat buku yang kugenggam dan mulai kubaca.

“Hahh?” dia tersenyum kecut.

“Kalo gitu, saya juga akan makan siang di sini.”

“Maksud bapak?” tanyaku dengan nada menyesal.

“Saya akan meniru anda untuk tidak makan siang dengan nasi.”

“Lho, kok?”

Aneh sekali sih tuh orang. Benar-benar sulit dimengerti. Hh! Aku ikut-ikutan tersenyum kecut.

Terserah! Yang jelas aku tidak pernah mempengaruhi anda untuk mengikuti apa yang kulakukan. Jadi, jangan pernah menyalahkan aku kalau tiba-tiba anda terserang maag.

Suara MP3 kembali menjerit dari ruangannya. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Jelas aku merasa terganggu. Tapi apa boleh buat?

Tepat saat aku melirik ke ruangannya, aku melihat sebuah tulisan yang ditulis dengan huruf balok di papan kerjanya. Tulisan itu begitu besar hingga mataku dapat membacanya dengan mudah tanpa harus berpindah dari kursi kerjaku.

“NO BODY CARE WITH ME”

Ya ampuuun… Ternyata orang seangkuh dia masih juga menginginkan perhatian? Jelas aja nggak ada yang mau perhatian sama anda. Gimana mau diperhatikan oleh orang lain, kalau dirinya sendiri nggak pernah menghargai apalagi memperhatikan orang lain.

“Bu Rien… Anda begitu tenang. Pasti dunia Anda penuh pelangi, ” suara itu tidak terlalu keras tapi kudengar begitu jelas. Penuh Pelangi? Oh, ungkapan yang indah. Aku mengalihkan perhatianku ke buku yang kugenggam. Aku tidak ingin dia tahu kalau diam-diam aku memperhatikan gerak-geriknya.

“Hidup berjalan seperti apa yang kita bayangkan, Pak. Kalau kita menggunakan kacamata hitam dalam memandang hidup ini, tentu saja yang terlihat hanya warna-warna kelabu. Tetapi, ketika kita mencoba menggunakan kacamata hati yang bening untuk melihatnya, niscaya yang terlihat adalah barisan pelangi yang menyejukkan.”

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku mampu menyusun kalimat-kalimat itu. Sepertinya aku menyalin kalimat itu dari sebuah buku. Tapi entah buku apa. Mungkin, buku-buku motivasi dan pengembangan diri yang sering kupinjam dari Hilma.

“Luar biasa. Anda hebat, Bu. Tapi sampai saat ini saya belum menemukan kacamata itu. Boleh tahu, anda membelinya di mana?”

“Anda pasti sudah pernah membelinya, Pak. Tapi lupa meletakkannya di mana.”

“Oh, ya? Sekali lagi saya ucapkan luar biasa untuk anda, Bu Rien. Sepertinya saya perlu banyak belajar dari anda. Maukah anda membantu saya mencari kacamata itu?”

“Terima kasih atas pujiannya, Pak. Tapi, ada syaratnya!”

“Oh ya? What is it?

“Bersiaplah untuk selalu menerima kritikan dan saran dari orang lain. Siapa pun dia. Dengarkan lingkungan tapi juga jangan mengabaikan kata hati yang terdalam.”

“OK! Kritik dan saran dari orang seperti Anda pasti akan menjadi anugerah terindah bagi orang sebodoh saya.”

Ah, ternyata anda memang bodoh. Kurang jelaskah kata “siapapun dia”. Bukankah itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa kritikan itu bisa berasal dari siapapun. Tak hanya aku. Dasar!! Awas kalau berani macam-macam.

“Maaf, pak. Sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan, saya rasa harus siap untuk selalu dikeritik, dicela, dicaci, tetapi saya rasa saya belum siap untuk dipuji.”

“Kenapa?”

“Karena kebaikan yang kelihatannya kita miliki sebenarnya bukanlah milik kita sepenuhnya. Semua itu hanya titipan dari yang Maha Pembuat Hidup. Jadi, seharusnya hanya Dia-lah yang berhak menerima pujian.”

“Bu Rien…saya seperti kembali ke masa saat saya menjadi mahasiswa dulu. Begitu idealis. Dan itu yang saya tangkap dari Anda saat ini. Sikap seperti itu tidak salah, tapi kita hidup dalam realitas. Dan kadang, realitas itu tidak sama dengan idealisme yang ada di pikiran kita.”

“Saya rasa apa yang saya katakan tadi bukanlah sebuah idealisme, tapi sebuah prinsip. Dan dalam hidup, kita harus punya prinsip. Kita melakukan sesuatu berdasarkan prinsip yang kita yakini. Dengan demikian, kita akan menjadi pribadi yang tegar. Tidak plin-plan.”

“Dan itu akan membuat anda kaku dalam bersikap!”

Hmm…pintar juga orang ini. Tidak! Aku tidak boleh kalah. Ego membuatku semakin semangat untuk melanjutkan perdebatan ini. Ah, bukan perdebatan sebenarnya. Hanya sebuah pertukaran pandangan.

“Saya kira tidak! Prinsip yang saya pegang memiliki dasar yang berasal dari wahyu. Sesuatu yang saya yakini bersifat universal dan akan selalu sesuai dengan nilai yang berlaku kalam kehidupan.”

“Ah, anda masih terlalu muda untuk berpikir serumit itu, Bu Rien! Anda masih terlalu mudah terkontaminasi. Dan itulah yang membuat saya kurang menyukai wanita. Mudah menggunakan emosi sesaat. Sama seperti anda.”

Deg! Aku tercekat. Sebegitu jujurnya orang ini sampai-sampai tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya. Sebegitu dinginkah segumpal darah yang tertanam di dalam dadanya? (bersambung)

Tentang Penulis:

Dewi Anjani, lahir pada 20 September 1985, dengan latar belakang pendidikan S1 Akuntansi Unibraw. Status menikah dan dikaruniai seorang puteri. Prestasinya di bidang penulisan antara lain; Nominasi lomba cerpen Direktorat Kepemudaan tahun 2004, cerpen dibukukan dalam Antologi “dari Zefir hingga Puncak Fujiyama”, CWI, Jakarta. Nominasi lomba cerpen UNISBandung tahun 2005 dan dibukukan dalam Antologi “Dilarang Menangis”, Bandung. Cerpen bersama FLP Malang dibukukan dalam antologi “Dua Pilihan”, Syaamil, Jakarta.