Bersedekah dengan Barang Terbaik

Beberapa waktu lalu, ketika saya masih mengais rezeki di Brunei Darussalam, ada sebuah kejadian menarik yang menimpa kami berempat. Menarik jika kita pandang dari kacamata keagamaan.

Suatu malam, kami makan bersama cukup lahap, karena menu makanan malam itu, cukup mengundang selera bagi kami. Seorang teman yang bekerja di restoran, memberi kami nasi dan lauk pauk. Tak pikir panjang lagi, kamipun memakannya bersama-sama.

Terus terang kami tidak sempat meneliti makanan itu sampai detil. Artinya, apakah makanan itu masih layak dimakan atau sudah tidak layak. Kalau dengan media penciuman dan rasa, kami menganggap masih bisa untuk disantap.

Tak disangka sebelumnya, jam tiga dini hari, secara bersamaan kami antri di depan WC. Semua sakit perut, disertai muntah-muntah. Bahkan seorang teman nyaris tak dapat bekerja pagi harinya.

Dini hari itu kami sibuk mencari obat apa adanya. Air garam kami minum bersama-sama sebagai pertolongan pertama. Syukur alhamdulillah, sakit perut tidak berkelanjutan.

Siang harinya teman saya mencoba mengusut tentang makanan yang diberikan kepada kami. Ternyata memang makanan tersebut sudah tidak layak untuk dimakan. Alias sudah kedaluwarsa atau “expired”. Dan sudah beberapa kali masuk “oven”.

Tak bermaksud tidak berterima kasih kepada yang memberi, atau mengesampingkan kebaikan dia, namun kejadian dini hari itu amat menjadi pelajaran bagi kami.

Bahwa, seandainya kami mau memberi sesuatu kepada orang lain, atau bahasa agamanya mau bersedekah supaya mendapat pahala kepada sesama, seharusnya kita memang berkiblat kepada Rasulullah SAW. Nabi jika mau memberikan sesuatu kepada orang lain, pasti dari jenis barang atau makanan yang terbaik. Tentu salah satu tujuannya adalah agar dampak dari pemberian itu juga baik.

Mengikut Rasul memang bukan hal yang mudah. Namun juga bukan sesuatu yang amat sulit. Jika belum bisa memberikan yang terbaik, maka yang pantas pakaipun bisa, -jika itu jenis pakaian-. Kalau hubungannya dengan makanan paling tidak makanan yang kita sendiri masih mau untuk memakannya.

Namun hamba yang lemah ini terkadang memang masih tertatih-tatih dalam hal ini. Terus terang saja, kami masih amat sering memberikan sesuatu kepada orang lain, dengan perhitungan yang sangat “njlimet” alias rumit. Bila perlu malah sampai ke tahap untung apa rugi.

Ini memang ujian keimanan. Memberikan sesuatu yang kita sendiri masih butuh atau menyenanginya, bukanlah sesuatu yang mudah, tapi perlu latihan yang tak ada hentinya.

Latihan untuk memupuk keyakinan bahwa memberi sesuatu kepada sesama, bukanlah sebuah kerugian. Jika kita mau memandang dengan sudut pandang ke-Illahi-an, memberi adalah sebuah investasi yang hasilnya abadi. Dan tak kan terkikis oleh bentuk krisis ekonomi apapun.

***
Purwokerto, Sept 06 <[email protected]>