Karena Kita Butuh Bi&#039ah yang Baik

Tahu tidak? Sungguh nikmat menghayati dan meresapi jejak-jejak hidup kita. Tak perlu yang ribet-ribet, yang sederhana saja. Akhir-akhir ini saya kerap berkata pada diri sendiri, “Sudah menjadi kakak ternyata.” Ya, sudah menjadi kakak. Sebenarnya sejak dua puluh tahun lalu saya sudah menjadi kakak untuk adik bungsu saya, namun ini kakak yang berbeda, adanya pada tataran perasaan.

Bagaimana tidak? Setiap membuka pintu kontrakan dan berjalan menuju kamar, ada saja permintaan kecil dengan suara manja dan agak merengek dari penghuni kamar depan, “Mbak… bagaimana kalau begini?” “Mbak.punya ini nggak?” “Mbak, pinjem ini dong”. Itu adalah suara manja Ami, adik angkatan bungsu di UGM tahun ini.

Ami baru beberapa hari tinggal di kontrakan, yang menjadikan saya satu-satunya penghuni lama. Sesuatu yang baru bagi saya, itulah, yang membuat saya merasa jadi kakak. Sebelumnya saya merasa jadi adik terus, soalnya penghuni yang lama mahasiswa-mahasiswa semester akhir dan S2.

Awalnya saya ingin pindah dari kontrakan ini, mengikuti jejak penghuni lain. Pasalnya saya senang tinggal di kontrakan, tapi ogah menjadi pengelola kontrakan, karena saya juga pasti jarang di kontrakan. Kalau saya tetap tinggal, mau atau tidak, senang atau benci, saya harus melakoni menjadi pengelola, karena sayalah satu-satunya penghuni lama yang tersisa.

Sebelum memantapkan diri menetap dan belajar mengelola kontrakan, saya sempat cari-cari kos juga. Walau dalam hati terbersit rasa, ”Capek juga tiap tahun pindah kos, seolah itu menjadi ‘ritual’ tengah tahun saya.” Ya, sejak awal kuliah, setiap pertengahan tahun saya pasti pindah kos, dari kamar yang lumayan elit 350 ribu sebulan, sampai yang etnik 75 ribu sebulan pernah saya nikmati. Tapi bukan itu yang jadi masalah, saya malas ngangkut-ngangkut barang yang lumayan banyak itu.

Lantas, jadilah saya memantapkan hati untuk menetap di kontrakan ini. Hasilnya? Sekarang saya akan membersamai sosok-sosok seperti Ami. Adik-adik baru nan lucu dan manja.

Sekarang saya jadi bermimpi, kontrakan ini bisa membawa maslahat lho. Bagaimana Ami berperilaku pada saya membuat saya memahami bahwa bi’ah yang baik, siapapun butuh itu. Saya, Ami, juga anda kan? Kenapa saya bermimpi demikian, karena sejak awal saya merasakan betul tantangan bi’ah.

Di kos elit 350 ribu, teman-teman kos saya jalan-jalannya ke club untuk nge-dugem, ke party, dan konser musik. Jalan-jalan saya saja yang beda sendiri, kajian pagi, seminar, dan pameran buku… hehehe. Bukan apa-apa, itu awal sekali saya berada di Jogja. Benar-benar terpukau saya melihat buku-buku bagus yang harganya murah, juga bisa bertemu tokoh-tokoh besar yang selama ini hanya bisa saya lihat di TV atau saya baca namanya sebagai penulis buku yang saya baca. Bagaimana tidak semangat bisa melihat orang-orang besar itu langsung berbicara di seminar dan mengisi kajian gratis? Karena saya masuk UGM lewat Ujian Mandiri, saya punya waktu tiga bulan sebelum masa kuliah.

Hampir tiap hari saya pergi, bergerilya mencari info acara-acara yang menarik untuk saya, jelas sendirian, karena selera teman-teman kos saya berbeda dengan selera saya. Bukannya saya tidak ikhtiar, tapi setiap saya mengajak teman-teman kos untuk mengikuti acara selera saya, tawaran saya pasti mendapat penolakan.

Walhasil, saya sempat diprotes karena sangat jarang bersama dengan teman-teman yang lain menikmati masa muda. Tidak betah diprotes terus, saya memilih hengkang, klimaksnya gara-gara diprotes karena ikut mabit. Deu.., untuk urusan perbaikan diri diprotes, siapa yang betah… pindah saja. Apologinya, memang sih kalau tinggal di bi’ah yang kurang baik kafaratnya lebih berat dan berganda, tapi kalau bia’ahnya benar-benar tidak bisa dimasukin mending kita pergi dulu ye…, “Bukan karena takut kami berlari, dengan asma Allah… kami akan kembali” begitu kata munsyid.

Hebat, saya langsung pindah ke kos etnik 75 ribu sebulan. Zuhud… zuhud… Di sini saya bertahan setahun lebih. Pindahnya lagi-lagi karena konflik, bukan saya yang berkonflik, melainkan teman-teman kos yang lain. Ketika saya tanya-tanya, kata teman-teman kuliah yang nge-kos konflik itu biasa, saya saja yang tidak terdidik untuk bertahan di situasi konflik. Solusinya? Tidak ada kata lain untuk saya selain hengkang. Makanya saya salut untuk siapa saja yang terdidik dan mampu bertahan apalagi menjadi pemenang jika berada di situasi konflik. Tapi ingat, menang dalam konteks ini bukan dengan mengalahkan yang lain ya…

Gerilya saya berakhir di kontarakan ini, rasanya..alhamdulillah sampai hari ini nyaman-nyaman saja. Saat ini saya sangat-sangat berharap, semoga rumah kontrakan kami bisa menjadi bi’ah yang baik untuk penghuninya dan orang-orang di sekitarnya. Amiin…

Bagaimana dengan bi’ah Anda?


Yogya, 22 Agustus 2006

Selepas mengantar Ami upacara perdana