Sebata Kotak Amal

“Sebenarnya yang penting bukan seberapa banyak yang kita beri, tapi seberapa ikhlas kita memberinya. ”

Itu yang perlu!

Kadang saya merasa terenyuh dan merasa iba kalau melihat seorang petugas alias panitia pembangunan. Entah, itu bisa atas nama petugas bangunan, masjid maupun pondok pesantren yang membutuhkan dana (baca: sedekah)—tidak sedikit yang diperlukan.

Ini buka hal yang pertama saya lihat dan juga saya jumpai keadaan seperti itu. Sering bahkan saking keseringan saya sampai perlu menyiapkan lebih dahulu uang yang ada di saku saya—yang menurut saya sangat berarti sebelum para petugas itu naik bus yang saya tumpangi. Saya sangat terenyuh dan merasa empati ketika petugas (panitia) atas nama pembangunan itu sambil membawa kotak amal maupun amplop selembaran yang tercantum nama pembangunannya untuk meminta uluran tangan kepada para “dermawan dadakan” di dalam bus tersebut hingga menjadi “mendadak dermawan. ” Ini sering kali saya alami ketika hendak berpergian entah ke mana—menaiki bus yang saya tumpangi pasti saya menjumpai keadaan semacam itu. Bukan, bukan saya merasa terganggu atas kehadirannya. Itu salah!

“Coba kalo saya konglomerat. Nggak ada tuh yang namanya minta-minta sedekah sambil membawa kotak amal maupun membawa amplop selembaran berpuluh-puluh. ”

Begitu yang ada dibenak saya ketika saya melihat semacam hal itu. Bukanya apa-apa saya heran yak sama orang-orang yang saya jumpai di dalam bus, kok disuruh berbuat baik kok susah banget. Kudu dipaksa-paksa dan disodorkan kotak amal atau amplop selembaran dulu. Ya, kudu dipaksa dulu baru tuh yang namanya naluri “ke-iba-an” baru timbul. Kalo begitu caranya kapan kita berbuat baik yak? Ampun deh!

Kalo tidak salah tidak ada tuh ceritanya orang yang terus beramal (berbuat baik), akhirnya jatuh miskin. Coba deh cari? Kalo ada tolong bilang saya? Mungkin yang ada justru sebaliknya. Bagi mereka yang berbuat baik—mau sedikit hartanya diamalkan ke jalan Allah, terus-menerus akan bertambah. Tidak ada yang jatuh miskin. Seperti halnya ketika saya mendapatkan honor tulisan dari tulisan saya kirimkan ke media. Honor itu saya bagi-bagikan kepada orang lain. Seperti orang tua saya (ibu), adik saya maupun Pak Pos yang setiap hari—kalo tulisan saya dimuat pasti saya beri.

Memang tidak seberapa yang saya berikan tapi betapa berartinya bagi saya dengan hasil jerih payah saya—saya bisa berbuat baik dan menyenangkan orang lain. Apalagi Pak Pos yang telah berlaku banyak berbuat baik atas kemajuan saya dalam hal menulis. Mungkin kalau tidak karena beliau saya juga mau tahu kalau tulisan saya dimuat—kemudian diantarkan kerumah saya. Baik itu majalahnya yang memuat tulisan saya maupun wesel yang beliau antarkan dengan tepat waktu dan nggak pake nyasar-nyasar segala. Maklum Pak Posnya sudah hafal dengan rumah saya. Nah mungkin kalau Anda mau tahu apa yang sekelumit saya lakukan betapa bahagianya berbagi kasih kepada orang lain.

Mungkin Anda tahu sendiri berapa sih honor seorang penulis pemula semacam saya ini? Pun untuk mentraktir kawan-kawan setengah lusin saja untuk makan bakso itu juga kurang. Apalagi saya yang lagi mencari-cari pekerjaan tetap. Mungkin tidak akan cukup baik untuk membuat dan meng-print surat lamaran, CV dan juga mengposin pula ke kantor untuk diposkan ke perusahaan-perusahaan. Namun saya menyukuri hal itu. Toh, siapa tahu kalau saya nanti bisa jadi penulis terkenal—mungkin orang tua saya (ibu) akan saya mempergi hajikan orang tua (ibu) semata wayang dan mentraktir kawan-kawan saya makan di hotel berbintang. Doakan saja!

Dan juga tak perlu kita beramal menunggu kaya. “Nanti deh kalo saya kaya. ” Mungkin itu yang terlontar dari mulut kita tanpa tidak disadari. Bahkan keadaan sempit, sedekah jadi lebih utama dilakukan. ”Orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit…”(Q. S Ali Imran 134)

Hal ini menginatkan saya pada situasii yang menurut saya untuk mengelus dada. Ini terjadi di dalam bus yang saya tumpangi ketika akan pergi ke kantor redaksi yang ada di bilangan Rawa Mangun.

“De, nih ibu kasih. Tapi doa’akan ibu ya bia ribu banyaknya rezekinya, ” ujar seorang ibu—teman duduk saya satu kursi bus penumpang di samping saya minta di do’akan si pembawa kotak amal sambil menyeplungkan uang kertas ribuan satu lembar yang sudah dilecek. Kebetulan pembawa kotak amal itu masih anak-anak dengan polosnya ia menjawab dengan senyuman kecut. Saya yang melihat situasi itu pun langsung berguman, ” Seribu aja kok minta doa!” Saya juga heran kok ada yak orang seperti itu? Memang sih ibu tadi memberi sedekah (berbuat baik). Tapi kan nggak pake gitu-gitu amat! Biasa aja lagi?

Itulah kenyataannya kalo kita ingin mengetahui letak keikhlasan seseorang nggak usah jauh-jauh pergi. Cukup aja naik bus yang kita tumpangi. Pasti kita sendiri akan mengalami dan melihatnya sendiri. Di mana banyak para penumpang di dalam bus yang selalu “terbuka tanganya” lebar-lebar. Ma’af lewat dulu! Ma’af pas dulu! Duh…segitu amatnya sih? Padahal kita memberikan sedekal (amal) tidak begitu terlalu banyak. Hanya sebatas kota amal! Sesuka rela kita saja! Terpenting ikhlas nggak pake doa segala.

Memang syarat utama dalam memberi adalah keikhlasan. Namun bila kemudian saat memberi terselip keinginan dalam hati agar Yang Maha Kuasa membalas perbuatan kita dengan sesuatu yang lebih baik. Entah kemudahan dalam hidup, dilancarkan rezekinya dan sebagainya.. Puncak keikhlasan manusia memang sampai di situ. Hukum aksi reaksi Newton saja mengatakan pula, ”setiap aksi akan mengahasilkan reaksi yang sama. ” Jadi menurut tokoh tersebut kalau kita memberi otomatis pastilah kita akan juga akan (minta ) diberi (baca: imbalan) dan diberi hingga menjadi “kaya”. Dan yang terpenting teruslah memberi yan disertai cinta dan juga dengan keyakinan dan perhatikan keajaiban-keajaiban kecil yang terjadi setelah itu. Wallahu a’alam bishowab!

“Ulujami, 20 Desember 2006”