Selagi Ramadhan Masih di Sini

Selagi Ramadhan Masih di Sini

Telepon rumahnya segera kuhubungi, begitu tahu jam segini adalah jam kosongnya. Alhamdulillah ia ada, dan memang lagi kosong. Ada yang ingin kujelaskan padanya. Selagi Ramadhan masih ada di sini.

"Pertanyaanmu yang kemarin, "Kenapa kau terlalu baik padaku? Mengapa selalu saja diriku yang kau dahulukan? Mengapa kau begitu perhatian padaku?", akan kujawab sekarang. "

"Kenapa…?"

"Karena Cinta!" Yah… karena cinta membuatku begitu baik padamu. Aku tak tahu, andai perasaan itu tak hadir dalam hatiku, entah sudah berapa kali aku melecehkanmu; mencabulimu; mencibirmu; mencincangmu; mengunyahmu seperti kibdah (hati), menu sahurku hampir setiap hari. Bagaimana berani aku mencincangmu kalau menyentuhmu saja aku tak sanggup? Sebab cinta menghormati!

Menyentuhmu? Apalagi. Bersanding di sisimu saja tak tega, sebab cinta menghargai. Ketika berpapasan denganmu yang hadir dalam perasaanku… Aku seolah dihadapkan pada sosok seorang bunda yang tengah kurindu. Tak ada nafsu yang bergejolak, jantung pun berdetak seperti biasa, sebab cinta itu suci; tak mungkin akan menodai. Apalagi ternodai.

Ketika matahari siang itu membakar kulit wajahmu. Kulihat peluhmu bercucuran, yang tengah berdiri menanti bus kesayanganmu di samping masjid Nurul Khitob. Begitu tiba, dengan sigapnya kakimu menaiki anak tangga bus yang sudah sesak. Kamu pun rela berdesakan di tengah himpitan warga Mesir lainnya dengan "aroma" tersendiri.. Sebenarnya melihatmu (bergantungan seperti itu) tak tega. Tapi bagaimana lagi. Cinta telah mengajarkan kita untuk saling mengerti. Engkau naik dengan seorang nenek jompo yang tak mungkin dibiarkan bergantungan (juga). Kupersilahkan sang nenek yang mengisi tempatku, bukan dirimu. Agar aku (juga) merasakan apa yang kamu rasakan. Sebab, pengorbanan pun adalah satu sifatnya.

Sebab (sifat) cinta suci; menghargai, menghormati, mengerti, Rasulullah Saw. pada detik-detik kematiannya masih sempat mengenang umatnya, "Ummati… Ummati… Ummati…."
Sebabnya pula, Rasulullah Saw. Menangis, mengantar kepergian Ibrahim, putranya.
Karenanya juga, Rasulullah Saw. Rela berbolak-balik menemui Robbnya, meminta keringanan dari empat puluh rakaat shalat yang diwajibkan bagi umatnya setiap hari. Ya, Rasulullah Saw. Terlanjur cinta pada umatnya, akhirnya kita pun diwajibkan shalat lima kali dalam sehari, itupun masih ada juga yang tidak mengerjakannya. Bahkan pada yang menyakitinya sekalipun, ia cinta. Beliau enggan menerima tawaran malakul jabal yang ingin menjungkirbalikkan gunung itu pada kaum Bani Tsaqif, kaum yang telah melukainya tersebut.

Semua karena cinta! Cinta yang dibangun atas sifat ini (tentu mengharap ridha dari Allah) akan menjadikan hidup lebih terarah. Tak ada lagi diskriminasi yang menimbulkan konflik tak berakhir. Tak ada lagi prahara yang menjadikan masa depan terancam suram dan culas. Kalau sudah merasa cinta, namun hal-hal yang tidak diingini masih kerap juga terjadi. Maka di bulan ini-lah lahan yang tepat untuk memupuknya kembali. Para peminta-peminta (biasanya) di bulan Ramadhan jumlahnya bertambah, adalah pekerjaan yang terpuji bila menyisihkan satu perak, dua perak untuk mereka. Ya, se-lagi bulan berkah ini masih bersama kita, sedapat mungkin kita manfaatkan sebagaimana mestinya. Sebelum para peminta-peminta itu menghilang satu persatu seiring habisnya masa Ramadhan. Selagi Ramadhan masih di sini, aplikasikanlah sifat-sifat cinta suci itu.

"Tapi, kamu yang bayarin, yah! Lagi kosong, nih, " lirihmu di depan Restoran Kelantan di suatu siang. Lagi-lagi aku tersenyum saja. Kau telah begitu jujur (tak punya duit). Tak mengapa. Itu bukan aib! Sebab, pada dasarnya sifat cinta suci itu, jujur. Bukan dibuat-buat!

"Halo, masih ada orang gak, nih?"

Kairo, 21 Ramadhan 1428 H

* Buat sahabatku M. Taufan Khasani yang tengah "dicoba." Bersabar, dan bermunajatlah selalu!

.