Suamimu bukan Suamimu

Belakangan ini, tema poligami gencar diperbincangkan di berbagai lapisan. Tidak hanya masyarakat awam, para petinggi negara pun menyuarakan wacana ini, tentunya di balik skenario pihak-pihak yang mencoba mengambil kesempatan. Tak terbayangkan sebelumnya, seorang Aa Gym mampu membuat seantero Indonesia ini gempar dengan keputusannya untuk mengambil langkah poligami.

Banyak kalangan dengan berbagai latar belakang dan prinsip angkat bicara, tentunya suara mayoritas menggugat keputusan Aa Gym yang tentunya (mencoba berhusnuszhon) sudah dipertimbangkan sangat matang. Ibu-ibu yangdulunya ngefans berat Aa Gym puntak pelak pula merasa "sakit hati" atas tindakan sang idola. Padahal, sang isteri, Teh Ninih mah oke-oke saja. Meski banyak pula yang berprasangka bahwa sikap Teh Ninih hanyalah kepura-puraan semata. Mencoba tersenyum di atas luka yang menganga. Benarkah demikian, Teh? Kasihan sekali ummi yang mencoba tulus tetap saja dipandang sebelah mata.

Entah setuju atau tidak tentang poligami, jika merujuk lebih jauh akan ketakutan seorang isteri jika suaminya berpoligami adalah sebuah ketakutan untuk kehilangan suami. Ketakutan tidak mendapatkan cinta dan perhatian sepenuhnya. Sebuah ketakutan untuk berbagi. Namun jika kita mau berkata jujur, bukankah kehidupan ini memang tempatnya untuk berbagi?

Dalam kehidupan yang banyak dijalani ummahat saat ini pun, meski suami tidak berpoligami, tetap kita dituntut untuk membagi suami kita. Dalam drama kehidupan dakwah yang penuh perjuangan dan aktivitas, suami kita bukanlah sepenuhnya milik kita. Suami adalah milik umat tempatnya berjihad, suami adalah milik Allah yang hanya dipertemukan dengan kita dalam istana cinta yang dibangun atas dasar untuk mencari keridaan-Nya. Suatu saat, entah kapan, pasti Dia akan mengambilnya kembali dari kita.Yap, suamimu bukanlah suamimu sepenuhnya. Dia adalah milik dakwah, milik umat. Jika kemudian ada umat lain yang membutuhkan perhatian dan cintanya, sulitkah untuk berbagi?

Pernyataan ini saya harap jangan diartikan sebagai sebuah legitimasi untuk memberikanjalan luas bagi suami untuk "membagi cintanya" tanpa ada alasan kuat yang menjadikannya membuat keputusanitu. Alangkah bijaknya ketika niat poligami itu didasarkan semata untuk memberikan maslahat kepada orang lain, bukan hanya dorongan seksual semata. Belajar dari Rasulullah, setiap memutuskan untuk menikahi seorang wanita pasti ada pertimbangan politis yang diambilnya demi untuk kemaslahatan dakwah dan Islam. Bukankah pertimbangan seperti itu pula yang seharusnya melandasi para suami untuk "mendua."

Sungguh… alangkah lebih legowonya kita ketika harus berbagi dengan kerangka ingin mencari ridha-Nya sehingga nantinya semua bisa menghadap-Nya dengan digelimangi cinta, sepenuh cintahanya untuk-Nya.