Tak Semahal Conello

Tak Semahal Conello

Oleh : Bayu Gautama Anak saya, Hufha, makin semangat mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) Masjid dekat rumah kami. Pasalnya, ia memiliki teman yang setia menjemputnya setiap sore. Ia tampak senang berangkat bersama Sita, yang usianya hanya tiga bulan lebih tua darinya. Mereka berdua belum bersekolah, untungnya, TPA tersebut membuka kelas untuk anak-anak seusia Hufha dan Sita. Namun ada yang membuatnya kelihatan tak bersemangat beberapa hari ini, dan setelah saya selidiki, penyebabnya adalah karena Sita, tak bisa mengaji lagi.

Sudah hampir satu pekan Sita tak mengaji, saya mencoba menghibur Hufha untuk tetap semangat mengaji walaupun temannya tak lagi mengaji, “Yang pinter nanti juga kan kamu nak, sebaiknya kamu tetap mengaji meski teman yang lain tidak mengaji,” bujuk saya suatu kali. Tak seperti dugaanku, ternyata ia tetap tak bersemangat, meski ia tetap berangkat ke TPA.

Sita, anak tetangga rumah kami itu merupakan teman bermain Hufha. Hampir tak ada hari yang terlewatkan oleh mereka berdua untuk bermain bersama. Saya cukup senang, karena kami yang merupakan warga baru di wilayah tersebut nampaknya diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar, termasuk Hufha yang cepat mendapatkan teman, Sita salah satunya. Tak banyak yang saya ketahui tentang anak tersebut kecuali ia adalah anak yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berumur satu tahun akibat sebuah kecelakaan. menurut cerita para tetangga, Pak Sahid, ayah Sita yang sehari-harinya bekerja sebagai tenaga angkut sayuran di pasar, tertabrak sebuah angkutan umum selepas subuh saat ia tengah menuju pasar tempatnya mengais rezeki. Kasihan Sita, anak seusianya sudah harus kehilangan ayah sekaligus lelaki pencari nafkah keluarganya.

Untuk menghidupi Sita dan dua kakaknya, Ibu Sahid mendapatkan upah dari mencuci pakaian para tetangganya. Itupun tak seberapa, sehingga ia masih harus melakukan beberapa pekerjaan lainnya, antara lain menjadi pembantu paruh waktu di salah satu rumah tak jauh dari tempat mereka tinggal.

Sepengetahuan saya juga, keluarga mereka termasuk keluarga yang taat beribadah, sehingga agak mengherankan bagi saya kalau ibunya membiarkan Sita tak lagi mengaji di TPA. Jelas bukan soal uang infaq TPA yang menjadi penyebabnya, karena TPA tersebut justru membebaskan anak-anak yatim seperti Sita dari infaq atau dana apapun.

Malam itu, Hufha buka suara. Sambil mengemas dua pasang sandalnya yang tak pernah lagi disentuhnya, ia mengatakan bahwa Sita masih sangat ingin mengaji. Yang menjadi masalah adalah, Sita malu kalau harus pergi mengaji tak menggunakan alas kaki. Sandalnya hilang beberapa waktu yang lalu sepulang mengaji, dan Sita tak berani meminta kepada ibunya untuk membelikan sepasang sandal baru.

Mendengar cerita anakku, tubuhku langsung lemas. Bagaimana mungkin saya bisa lalai untuk hal sepele seperti itu. Mungkin yang dibutuhkan Sita bukanlah sandal cantik berhias bunga melati diatasnya, atau selop merah muda berpita halus seperti yang dipunyai Hufha. Untuk bisa berangkat ke TPA -bersama anak saya- mungkin Sita hanya butuh sandal jepit yang harganya tak separuh harga Ice Cream Conello yang biasa dimakan Hufha.