Ketika Materialis Mengepung Keluarga Muslim (2)

Serangan Musuh Sudah di Rumah Kita

Satu hal yang kerap terlupakan di keluarga muslim saat ini adalah umat Islam khususnya di Indonesia merasa sudah merdeka dan tak ada lagi peperangan yang patut dirisaukan. Padahal, tidak semua peperangan selalu dalam bentuk fisik. Ada peperangan dalam bentuk pemikiran, budaya, dan ekonomi.

Allah swt. mengingatkan kita dengan ketidakridhaan orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk selalu berupaya agar umat Islam kehilangan jatidiri, hingga murtad atau keluar dari Islam. Firman Allah swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 120.

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka….”

Dari ayat ini tergambar bahwa pihak yang selalu memusuhi adalah dari golongan Yahudi dan Nasrani. Berbagai cara mereka lakukan dengan begitu halus, dengan kemasan kurikulum, hiburan, sinetron, film, bahkan aturan penampilan para pekerja. Dan semua serangan itu bermuara pada satu titik: keluarga.

Kita bisa menghitung secara kritis berapa persen dari tayangan televisi yang begitu akrab dengan anak-anak kita yang sejalan dengan tuntunan agama Islam. Dan berapa persen yang tidak sejalan, bahkan berisi ajakan untuk melawan ajaran Islam.

Perhatikanlah wajah sinetron yang akrab dengan dunia ibu-ibu dan remaja. Berapa persen dari isi tayangan itu yang pemain dan alur ceritanya menggambarkan mereka shalat, berbusana menutup aurat, mengungkapkan ekspresi tubuh ketika berkomunikasi, dan sebagainya.

Dari sini, tanpa disadari, sebetulnya keluarga muslim sedang dikondisikan untuk akrab dengan kebiasaan atau budaya non muslim. Mereka tidak pernah ‘menyentuh’ shalat, Alquran, dan busana muslim. Kalau dosis racun itu kian berbobot, bisa dibayangkan seperti apa sosok generasi penerus muslim negeri ini kelak.

Kalau kita lebih teliti lagi, semua tayangan televisi yang sangat diminati anggota keluarga adalah pada waktu antara Maghrib dan Isya. Waktu inilah yang mereka ‘rebut’ dari keluarga kita yang sedianya dimanfaatkan untuk ibadah dan mengkaji Alquran.

Perhatikanlah, siapa produser tayangan-tayangan menyesatkan itu. Mungkinkah itu hanya sekadar ‘jualan’ hiburan saja. Dan perhatikan pula, apa pengaruh yang bisa dirasakan dari anak-anak kita.

Ini baru satu sisi dari sisi yang bernama televisi. Belum sisi lain dengan media yang berbeda. Antara lain, internet dengan situs favoritnya, Facebook, game online, dan lain-lain. Begitu pun dengan tawaran media komunikasi seperti handphone yang tidak lagi sebagai alat komunikasi. Tapi, sudah menjadi media segala hal, termasuk hiburan.

Dari alat komunikasi yang canggih ini, jika disalahgunakan, bisa berpeluang besar menjadi media khalwat atau dua-duaan antara pria dan wanita. Bukan hanya para remaja, tapi juga ayah dan ibu.

Di antara pintu yang menyebabkan orang masuk pada perzinahan adalah komunikasi yang tanpa batas antara lawan jenis. Awalnya mungkin terkesan normal, karena hubungan kerja, hubungan belajar untuk anak-anak; tapi hal itu bisa berkembang menjadi media yang menggiring orang kepada tindak perzinahan.

Islam tidak mengharamkan segala fasilitas hidup berupa teknologi canggih. Tapi dengan prinsip: kita yang mengendalikan alat, dan bukan alat yang akhirnya mengendalikan kita. (bersambung)