Pemimpin Pembelajar (Bagian 2)

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." –Al Qur–an, Surat At Taubah (9): 105–

Operasionalisasi dari mental pembelajaran adalah perilaku pembelajaran (learning behavior), yang juga harus embedded dalam diri seseorang untuk menjadi pemimpin jenjang kelima. Kita berangkat dari keyakinan dasar potensi untuk menjadi pemimpin jenjang kelima itu sudah dititipkan Allah dalam diri setiap kita. Perilaku pembelajaran, dengan dasar mental pembelajaran, akan membuat setiap peristiwa yang kita alami menjadi trigger, stimulan, bagi proses aktualisasi potensi tersebut. Ada dasar keyakinan di balik itu: nothing happens by chance. Di balik setiap peristiwa yang kita alami pasti ada pesan dari Allah untuk kita jadikan pelajaran.

Suatu hari Nabi SAW keluar dari rumahnya untuk bepergian. Namun belum jauh melangkah kaki beliau tersandung batu hingga putuslah tali terompahnya. Kejadian yang begitu sederhana itu membuat beliau tertegun dan merenung di tepi jalan, ”Kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga Allah memperingatkanku dengan putusnya tali terompahku ini?” Subhanallah! Sebuah demonstrasi luar biasa dari kualitas pemimpin jenjang kelima, pemimpin pembelajar. Jika ditarik agak jauh sedikit, apakah perilaku para pimpinan bangsa ini dalam merespon berbagai musibah yang tak kecil: tsunami Aceh dan Nias, lumpur Sidoarjo, gempa Yogyakarta-Jawa Tengah, kerusuhan Poso, banjir yang melanda berbagai wilayah negeri, kecelakaan transportasi yang tak kunjung surut, dan sejumlah besar bencana lainnya, telah menunjukkan kualitas mereka sebagai pemimpin pembelajar? Wallahu ’alam. Yang jelas, every society gets leader it deserves, pemimpin pembelajar hanyalah milik bangsa pembelajar.

Perilaku pembelajaran merupakan siklus yang diawali dari observe, perilaku menyimak (listening) dan mengakumulasikan segenap fakta dan data, tanpa prasangka. Demikian berbahayanya prasangka, hingga Allah memperingatkan: ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa …” (QS. Al Hujuraat: 12). Observe adalah perilaku mendengar dengan fokus pada sumber informasi, melibatkan seluruh indera, sehingga mampu menangkap bahasa nonverbal dan meta-messages, to read between the lines, tanpa ketergesaan untuk memilah, menganalisis, atau menyimpulkan. Jadi, pemimpin pembelajar mestilah seorang great listener, yang memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan, bukan pada siapa yang mengatakan, dan bagaimana pesan tersebut dikatakan.

Tahap selanjutnya adalah assess, mengkaji, menganalisis. Jika observe menjawab pertanyaan ”what?” maka assess menjawab pertanyaan “why?’ . Sampai di tahap ini kian jelas mengapa membangun mental pembelajaran harus mendahului perilaku pembelajaran. Tanpa dasar mental pembelajaran yang kokoh, pertanyaan “why?” hanya akan menjadi pemicu munculnya serentetan “kambing hitam”. Namun sebaliknya, mental pembelajaran akan membuat kita look in the mirror, mencari tahu dan kemudian menemukan area of improvements dalam diri kita sendiri.

Dalam praktek, tinggi-rendahnya kualitas assessment tergantung pada kelengkapan, keragaman, dan ketajaman ”pisau analisis” yang digunakan. Konon kisahnya ada seorang kepala suku dari sebuah suku yang agak terbelakang di kawasan Malaysia Timur di masa penjajahan Inggris diundang bertandang ke Singapura oleh pemerintah kolonial untuk melakukan studi banding. Selama kunjungan banyak sekali yang ia lihat: pelabuhan, gedung-gedung pemerintahan, jalan raya, pasar, dan pusat-pusat keramaian lainnya. Saat pulang kampung dikumpulkannya seluruh anggota sukunya dan dia berkata, “Sekarang kutahu mengapa Singapura lebih maju dari kita. Ternyata rahasianya hanya karena mereka menggunakan gerobak untuk mengangkut bertandan-tandan pisang sekaligus!

Mengapa kesimpulannya begitu sederhana? Usut punya usut ternyata makanan pokok suku tersebut adalah pisang yang biasa dibiarkan tumbuh liar di tepi hutan. Setiap ada tandan pisang yang matang, mereka angkut pulang dengan cara memanggulnya, sehingga hanya sedikit sekali tandan pisang yang bisa mereka bawa. Nah, dalam kunjungannya ke Singapura, sang Kepala Suku secara tak sengaja melihat bagaimana orang menurunkan pisang dari truk besar dan membawanya ke dalam pasar dengan kotak beroda yang belakangan diketahuinya bernama gerobak. Semua pemandangan lain yang dia lihat di Singapura menjadi tak berarti dan tak menempel dalam pikirannya karena tak ada “pengait” seperti pisang yang terhubung dengan gerobak. Pesan dari cerita ini tentulah sangat jelas. Semakin sedikit “pisang” yang kita ketahui, semakin sedikit pula fakta dan data yang bermakna buat kita. Kaidahnya mengatakan, we see what we are supposed to see. We see poorly, or not at all, data does not fit into our current paradigm. We don’t know what we don’t know. Karenanya, jangan pernah berhenti mencari “pisang-pisang baru”, sehingga analisis kita semakin berkualitas. Dalam konteks ini dapat dipahami kredo yang mengatakan: “This is the era for the leaders who read.” Membaca adalah salah satu cara jitu untuk memastikan bahwa kita tidak terpaku pada “pisang” yang lama.

Langkah ketiga adalah design, merancang alternatif respon paling optimal. Di samping kualitas analisis data dan fakta yang dilakukan di tahap sebelumnya, kualitas design juga sangat ditentukan oleh kemampuan berpikir out-of-the box. Ingatlah selalu ungkapan yang mengatakan, “hanya orang gila yang mengharapkan hasil yang berbeda dari cara yang sama”. Prinsipnya, kita harus konsisten dengan visi dan tujuan, namun jangan pernah konsisten dengan cara. Ada banyak jalan menuju Mekah! Namun, kualitas design juga tak bisa dilepaskan dari kemampuan berpikir serba-sistem (systems thinking), yang membuat kita berpikir holistik dan integral, mempertimbangkan hubungan saling keterkaitan antar setiap faktor. Ketika berencana mengubah suatu faktor secara otomatis kita berpikir kemungkinan dampaknya, baik terhadap faktor-faktor lain, maupun terhadap sistem secara keseluruhan, dan bahkan terhadap visi yang ingin diwujudkan atau tujuan yang hendak dicapai. Jadi, pemimpin pembelajar adalah juga mereka yang open minded dan berpikir serba-sistem.

Ada cerita lainnya. Kali ini tentang sepuluh ekor burung yang sedang hinggap di atas pagar. Mereka bercakap-cakap, bersenda-gurau. Sayangnya kita tak tahu apa yang mereka perbincangkan, karena yang paham hanyalah mereka sendiri, Nabi Sulaiman AS, dan Allah SWT. Tiba-tiba kesepuluh burung itu melihat seekor cacing yang gemuk dan montok keluar dari dalam tanah. Terbitlah rasa lapar mereka. Karena itu mereka memutuskan untuk memangsa cacing itu. Pertanyaannya: ada berapa burung yang tersisa bertengger di atas pagar? Kalau jawaban anda kurang dari sepuluh, jawaban itu salah. Ya! Jawabannya adalah sepuluh! Mengapa? Karena burung-burung itu baru memutuskan. Coba ingat-ingat lagi, betapa seringnya dalam hidup kita tak henti-hentinya menimbang, mengingat, memutuskan, lalu kembali menimbang, mengingat, dan memutuskan, dan kembali lagi menimbang, mengingat, memutuskan, tanpa pernah melaksanakan. Adakah yang berubah? Tidak! Banyak orang pintar yakin bahwa rencana keputusan untuk memindahkan bukit akan membuat bukit itu bergeser. Mereka lupa bahwa traktorlah yang memindahkan bukit. Implementasi, action, adalah tahap terakhir yang menentukan hasil dari suatu siklus perilaku pembelajaran. Action, action, action! Gagal? Siapa takut?! Ingatlah, success truly is the result of good judgment. Good judgment is the result of experience, and experience is often the result of bad judgment. Thomas Alfa Edison mengatakan, “I am not discouraged, because every wrong attempt discarded is another step forward.” Jadi, just do it!