Toleransi, Islam dan Barat

Persoalan toleransi tetap hangat dikaji. Kasus Ahmadiyah menyadarkan pelbagai pihak betapa tak mudahnya menemukan bersama makna toleransi untuk kemudian diimplementasikan. Pada tataran konsep saja terlihat begitu sengitnya pertempuran konsep itu. Bermula dari pertanyaan apa itu toleransi yang kemudian bermuara pada bagaimana format toleransi yang tepat. Dan sudah tentu format yang berlaku tidaklah jauh dari lingkaran konseptual yang telah tersusun sebelumnya.
Menarik untuk ditelusuri bagaimana Islam dan Barat membentuk lingkaran konseptual tentang toleransi. Islam dipilih karena memang mau tidak mau akan sangat mempengaruhi kultur toleransi bangsa Indonesia, dimana Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia.

Sedangkan Barat diambil karena memang Barat tidak dapat diabaikan begitu saja. Arah perubahan dunia yang makin mem-Barat dengan tulang punggung demokrasinya dan adanya kesepakatan diam-diam bangsa ini untuk menjadi “Barat” membuat Barat layak ditelusuri sejarah pembentukan lingkaran toleransinya.

Dalam menelusuri konsep toleransi Islam terdapat beberapa hal yang mesti dipahami terlebih dahulu, sehingga mudah untuk menangkap bagimana Islam membangun konsepnya tentang toleransi. Pertama, yaitu konsep ushul-furu’, sebuah konsep yang telah sangat masyhur dalam kajian Islam. Dalam konsep ini kaum muslim didudukan kapan boleh untuk bertoleransi dan kapan untuk tidak. Untuk masalah ushul (dasar) -menurut pemahaman Islam- umat Islam tidak dapat mentolerir. Sebaliknya untuk masalah furu’ (cabang) toleransi justru mesti dikedepankan dengan tetap berpegang pada dalil terkuat.

Kedua, dari sudut historis, krisis toleransi –ditandai dengan munculnya sikap tak toleran- yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam berlangsung bukan pada saat penguasa melakukan abuse of power, seperti yang tampak dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika memerangi kelompok yang mengingkari kewajiban zakat. Abu Bakar tidak berada pada posisi abusing. Dengan demikian dapat dibaca bahwa sejatinya dalam sejarah Islam krisis toleransi tidak dipicu oleh kesewenang-wenangan penguasa atau institusi agama. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, krisis dipicu oleh pihak-pihak, yang dapat dikatakan, telah menyeleweng dan melakukan kesewenang-wenangan terhadap Islam.

Satu hal lain yang dapat dipahami dari dua penjelasan di atas adalah tampak bagaimana konsep toleransi dalam Islam bukan dibentuk berdasarkan sejarah ataupun reaksi terhadap sejarah, melainkan dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri baik berupa firman Tuhan (Al-quran) ataupun sabda dan perilaku Rasulullah (Al-hadis). Dan batasan yang digunakan mempraktik toleransi adalah konsep ushul-furu’ dengan tetap bersumber pada Al-quran dan Al-hadis. Di sini tampak jelas bagaimana doktrin toleransi yang mengacu pada konsep ushul-furu’ telah menjadi mapan dan dipraktekkan pada zaman sahabat Rasul.

Pada kasus adanya sekelompok orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar –sebagai pemimpin Islam paa saat itu- berketetapan untuk memeranginya. Alasan yang mendasarinya adalah karena masalah zakat merupakan masalah ushul, yang tidak terdapat toleransi terhadap perbedaan akan kewajiban pelaksanaannya. Lain halnya dengan kasus Umar bin Khattab saat mengubah ketentuan ghanimah (harta rampasan perang) dimana ketentuan yang ditetapkan berbeda dengan ketentuan Rasulullah dan Abu Bakar. Umar untuk ini tidak diperangi dan para sahabat Rasul pun tidak memberontak padanya. Karena memang perkara ini masuk dalam masalah furu’ bukan Ushul. Kasus tersebut menyiratkan bagaimana konsep ushul-furu’ memang sudah demikian establish dalam Islam.

Di sisi lain dalam memahami konsep toleransi barat seyogyanya kita menelusuri terlebih dahulu beberapa hal. Pertama, sebelum terjadinya krisis toleransi di Barat masyarakat barat tidak mengenal konsep ushul-furu’. Yang ada adalah konsep ‘ushul’ saja. Dan konsep tersebut ditetapkan oleh institusi keagamaan pada saat itu yakni gereja. Fenomena ini dapat dilihat dari usaha pendobrakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi gereja terhadap beberapa hal, yakni, Paus superior terhadap seluruh kekuasaan dunia; hanya Paus yang dapat menafsirkan scriptures; hanya Paus yang berwenang terhadap majelis gereja. Kedua, krisis yang terjadi di Eropa muncul ke permukaan pada masa dimana tidak terdapat ruang furu’ dan terjadi saat penguasa melakukan abuse of power.

Gereja banyak terlibat melakukan skandal mulai dari korupsi hingga kasus surat penebusan dosa (indulgence). Pada masa inilah muncul benih-benih krisis toleransi yang ditandai dengan munculnya Lutherisme dan Calvinisme. Sulit untuk dipungkiri bahwa krisis toleransi yang eksis di Barat, dimana pada akhirnya akan membentuk doktrin toleransi di negara-negara demokrasi Barat, dipicu oleh oleh kesewenang-wenangan institusi keagamaan dalam bertindak. Frederick Mayer (1964) dalam bukunya History of Modern Philosophy menceritakan secara ringkas motivasi Luther bermula: “In 1517 Luther nailed his ninety-five theses on church door at Wittenberg. They were directed against the efforts of brilliant salesman, Dr. John Tetzl, who was trying not only Pop Leo X but also archbishop….Tetzel made Supreme efforts to achieve his goal, for money was urgently needed. He preached powerful sermons about the tornments of purgatory and showed how effective the indulgences would be. His method outraged Martin Luther”. Dari sinilah muncul kelompok Protestan dalam agama Kristen.

Setelah mendapat pemicunya, krisis toleransi di Eropa mulai pecah. Terjadilah banyak kasus intoleransi antara pemeluk Katolik dngan Protestan. Di wilayah yang dikuasai Protestan, maka pemeluk Katolik akan mendapat diskriminasi dan penindasan, begitu pula sebaliknya. Seperti yang terjadi pada masa Raja William di Inggris. Pada masa kekuasaannya raja mempraktikan banyak penindasan terhadap umat Katolik dan praktik itu baru berakhir setelah berjalan 150 tahun. Di Austria –seperti yang diambarkan Mayer- ketika Calvinisme berkuasa pembantaian dan pengusiran terhadap kelompok lain yang dianggap heretics juga terjadi, bahkan kerap kali warga diuji pemahaman teologi dan opini politiknya guna diperiksa apakah menyimpang atau tidak. Peristiwa ini berlangsung mulai dari tahun 1541 sampai 1564. Di Inggris pada tahun 1547 di bawah kekuasaan Raja Edward VI sang raja kerap kali banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan Katolikisme. Namun disaat Ia meninggal pada tahun 1552 dan digantikan oleh Queen Mary justru pihak protestanlah yang mendapat banyak kerugian di bawah kekuasaan sang ratu (Northrop: The Meeting of East and West, hal 170). Di kawasan yang lain seperti di Belanda dan Spanyol nasib umat Protestan sangat menyedihkan. Di Belanda pangeran Philip menganggap semua orang Protestan berkhianat kepadanya, maka dikirimlah banyak pasukan untuk membasmi pengkhianatan. Dan selama enam tahun umat Protestan mengalami pembantaian. Sedangkan di Spanyol sebanyak dua ribu penganut Protestan dibantai dalam waktu semalam(Suhelmi: Pemikiran Politk Barat, 125)

Pada keadaan seperti inilah kemudian pemikiran mengenai pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John Locke figur yang cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya menjabarkan tiga pikiran pentingnya mengenai toleransi. (1) hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). (2) tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengkafirkan sekte yang lain. (3) pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktirn inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat (negara-negara demokrasi Barat)

Dari paparan sejarah tersebut sangat gamblang sekali bagaimana ternyata pembentukan pola doktrin toleransi antara Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral dari warisan Islam. Berbeda halnya dengan Barat yang doktrin toleransinya dibentuk oleh sejarah dalam jangka waktu panjang hingga ratusan tahun, dimana doktrin yang terbentuk merupakan reaksi terhadap sejarah dan pemicu krisis toleransinya terbentuk karena adanya abuse of power. Itulah sebabnya menyamakan doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi yang ada di Barat tidaklah tepat. Namun anehnya saat ini tampaknya proses overlapping doktrin mulai muncul ke permukaan. Padahal jika kita ingin mengupas kulit sejarah keduannya akan ditemukan isi doktrin yang berbeda. Dan yang perlu diingat adalah bahwa proses ini berjalan pada tingkat doktrin yang bersifat permanen. Artinya akan mudah ditemukan sebuah potensi konfrontasi terus menerus antara kedua doktrin. Pilihannya nyaris hanya ada dua. “Jika tidak ini, ya itu”.

Egoisme Demokrasi
Terdapat fenomena yang menarik dari perdebatan panjang mengenai toleransi yang layak untuk dicermati. Fenomena itu dapat dirasakan dengan mulai masuknya proses intervensi demokrasi ke dalam wilayah agama. Penilaian agama –seperti dalam kasus ahmadiyah- justru dinilai dengan variabel demokrasi bukan dengan variabel agama. Demokrasi menjadi demikian absolut –bahkan menjadi “Tuhan” baru- pengganti Paus. Bila dahulu Paus dapat mengatakan Galileo keliru, maka saat ini giliran demokrasi yang menjadi ‘Paus’ baru dengan mengatakan agama telah keliru. Jika demikian apa bedanya demokasi dengan institusi keagamaan dahulu. Demokrasi sudah semestinya harus jujur menilai dirinya sendiri. Jika Institusi keagamaan di Eropa dahulu terjebak pada satu titik ekstrim dengan meng-ushul-kan seluruh perkara, maka demokrasi sebenarnya juga telah terperangkap pada titik ekstrim yang lain dengan cara mem-furu-kan semua perkara. Semua perkara menjadi dianggap relatif.

Yang aneh, jika berhadapan dengan pemahaman yang berbeda dengannya demokasi berubah dari limitless menjadi limited. Ini terlihat dari studi demokrasi tentang limit of tolerance. Dalam bukunya yang berjudul The democratic Civilization, Lislie Lipson mengakui dengan tegas –dalam sub bab yang berjudul limit of tolerance- bahwa demokrasi memiliki batas toleransi. Dia mengatakan: “In this century, however, existance of parties on groups on extreme political left and right who demand the advantages of democatic freedoms in order to destroy freedoms. As a system o government in existance, democracy has a right to preserve itself” (Lipson: The Democratic Civilization, hal 225).
Cunningham (2004) dalam bukunya Theories of Democracy: A Critical Introduction juga menjelaskan bahwa di kalangan pemikir demokrasi terdapat kelompok yang menginginkan agar negara steril dari ide-ide yang dianggap tidak demokratis, bahkan dalam keadaan tertentu ide yang tidak demokratis tersebut dapat disingkirkan. Toleransi hanya diberikan dalam kadar tertentu bagi kelompok yang tak demokatis dan tidak boleh masuk dalam ranah politik. Karena menurut anggapan yang sudah jamak dipakai oleh pemikir demokrasi, ide-ide selain demokrasi dianggap pakaian sempit dan tidak muat untuk dikenakan di tubuh demokrasi. Malah pakaian itu kerap dianggap sebagai penyebab demokrasi menjadi sulit bernapas.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa jika demokrasi memiliki limit of tolerance kemudian harus memaksa agama untuk tidak memiliki limit of tolerance? Padahal seperti yang katakan Lipson bahwa demokrasi menerapkan limit untuk menjaga demokrasi dari kerusakan. Tetapi mengapa agama tidak diperbolehkan untuk juga menerapkan limit agar dirinya juga turut terjaga dari kerusakan? Mengapa hanya demokrasi yang boleh? Bukankah itu egois, hipokrit dan mau menang sendiri? Disinilah perlu adanya penelaahan kembali doktrin demokrasi bahkan jika perlu ada revisi ulang pemahaman demokrasi yang tampak mulai egois itu. Padahal dahulu demokrasi sendiri yang menghabisi keegoisan Paus. Tapi mengapa kini ia ikut-ikutan menjadi egois? Bukankah lebih baik egois dalam kebenaran (seperti akidah ekskusif Islam) daripada mengaku anti egoisme (seperti akidah inklusif dan pluralis demokrasi), namun diam-diam egoistis juga. Wallahu a’lam


Profil Penulis

Muhammad Iswardani Chaniago lahir di Jakarta 13 Februari 1982. Alumini FISIP Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran. Sebelumnya pegiat diskusi Sorea Forum (Kelompok diskusi Jatinangor)