Akankah Peradaban Buku Cetak di Indonesia Akan Berakhir?

Ponsel pintarlah biang keladinya. Sebab dengan alat ini, orang dapat mengakses apa saja. Tren dan perilaku mengakses informasi semacam ini telah mengubah pandangan, perilaku dan habit manusia. Termasuk dalam habit ke soal buku.

Sebab bagaimanapun, buku hanyalah sarana dan bahan sajian untuk mengakses informasi yang dibutuhkan manusia. Manakala tersedia sarana akses informasi yang lebih simpel, praktis, murah dan mudah bagi manusia, maka tentu buku akan ditinggalkan orang. Sarananya yang ditinggalkan. Bukan informasinya. Informasinya tetap orang butuhkan.

Di hadapan zaman digital yang merasuk seperti sekarang ini, tentu tidak gampang bagi toko-toko buku modern seperti Gunung Agung, Walisongo, ataupun Gramedia untuk menyesuaikan dan merespon agar tetap relevan, eksis dan berkembang di hadapan konsumen yang makin aksesibel atas segala macam saluran informasi. Padahal toko-toko buku itu, jati dirinya ya…toko yang menjual buku-buku produk cetakan. Sementara produk cetakan sekarang ini, di tengah serbuan dan tantangan produk digital, makin kerepotan untuk bersaing dan eksis.

Mungkin jika dulu zaman mesin ketik punah alamiah digantikan oleh zaman komputer, sekarang di depan mata kita sepertinya, zaman buku cetak akan habis pula dengan hadirnya buku online dan digital.

Benarlah firman Allah. Semua makhluk akan mengalami kematian. Tinggal masalahnya, apakah kematian itu datang dengan cara husnul khatimah atau suul khatimah.

Ajaib sekali, saat aku merenung hal ini, lamat-lamat lagu dari suara Opick mendayu menyentuh yang diputar di dalam toko buku Walisongo ini, “Yallah bihaaaa…yallah bihaaa. Yallah bisa husnil khatimaaah.” Lagi-lagi jangan sampai toko ini tutup, walaupun AC-nya tak dingin lagi. Apakah itu untuk efesiensi, atau pertanda akan tutup, wallahu a’lam bishshowab.(kl/konfrontasi)

Penulis: SED