Jejak Diponegoro di Museum Fatahillah (Bag.1)

Di luar, Basah Mertonegoro, Haji Isa, Haji Badaruddin, dan dua anak Diponegoro yang masih kecil duduk di ruang tengah. Sedangkan Basah Gondokusumo, Basah Suryowinoto, Basah Imam Musbah dan sejumlah adipati duduk di kursi luar.

Pembicaraan telah dimulai dengan basa-basi saling menanyakan kabar dan penyesalan mengapa peperangan harus terjadi.

Tiba-tiba De Kock berdiri, mohon izin ingin ingin ke toilet. Jenderal itu keluar ruangan menuju bagian belakang wisma. Di sebuah lorong yang sepi, De Kock mengetuk sebuah pintu perlahan dua kali. Pintu itu terbuka dan De Kock segera masuk. Di dalam, Mayor Michiels bersama sejumlah anak buahnya bersenjata lengkap memberi hormat dengan sikap sempurna.

“Laksanakan!” desis De Kock kepada Mayor Michiels. Setelah itu dia keluar ruangan lagi dan berjalan menuju kamar kecil.

Perwira Belanda berkepala botak itu bergerak cepat. Didampingi tiga pengawalnya, dia melompat ke kuda yang ditambatkan di bagian belakang wisma dan memacunya menuju lapangan yang berada dua ratusan meter jaraknya dari tempat pertemuan, di mana terdapat konsentrasi pasukan Infanteri dan hussar Belanda bersenjata lengkap dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka langsung menuju pesanggrahan Metesih.

Di bawah komando Mayor Michiels, seluruh prajurit Diponegoro dilucuti. Kapten Michiels mengatakan jika hal itu atas seizin Pangeran Diponegoro. Ada sekira 1.400 laskar yang dilucuti. Setelah dari pesanggrahan Metesih, Michiels melanjutkan ke jalan besar dan ke depan Karesidenan di mana juga terdapat konsentrasi pasukan Diponegoro dalam jumlah yang jauh lebih kecil.

Ketika semua laskar sudah dilucuti senjatanya, Mayor Michiels melarikan kudanya ke depan pintu utama wisma di mana terdapat De Kock dan Diponegoro yang masih duduk mengobrol. Tiba di luar, Michiels meniup peluit.

Tidak ada yang mengetahui isyarat apa yang hendak disampaikan perwira Belanda itu kecuali Jenderal De Kock, Kolonel Cochius, dan segelintir perwira Belanda.

Tiba-tiba De Kock berkata kepada Diponegoro, “Sebaiknya Anda tidak kembali ke Metesih lagi. Tinggalah di sini bersama saya…”

Diponegoro dengan tenang menjawab, “Mengapa saya tidak boleh kembali? Apa yang harus saya kerjakan di sini? Saya datang dan hanya singgah sebentar di sini, semata-mata untuk kunjungan ramah tamah sebagaimana adat kami usai menunaikan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Sudah menjadi tradisi kami yang muda mengunjungi yang tua. Dalam hal ini Jenderal, Anda adalah pihak yang lebih tua, jadi saya mengunjungi Anda di sini…”

De Kock menjawab dengan suara meninggi, “Anda saya tahan di sini. Saya ingin semua persoalan di antara kita selesai hari ini juga!”

Diponegoro kaget. “Ada masalah apa dengan saya, Jenderal? Saya tidak punya masalah pribadi dengan Anda?”

De Kock kembali menjawab dengan tegas sehingga terjadi perdebatan yang cukup panjang. Diponegoro berusaha mengingatkan De Kock atas janjinya seperti yang diutarakan Kolonel Cleerens dalam pertemuan di Bagelen, jika Belanda ingin bertemu dalam suasana damai, bukan untuk menahan atau menangkapnya.

Tapi De Kock tidak mau lagi mendengar semua ucapan Diponegoro dan tetap pada keinginannya. Suasana berubah jadi gaduh. Hal itu membuat Diponegoro marah. Dalam posisi duduk, kedua tangannya mencengkeram erat sandaran tangan kursi, hingga tanpa terasa kuku jari tangan kanannya mampu mencungkil pegangan kayu jati yang teramat keras itu.[Bekas cungkilan kuku jari tangan kanan Diponegoro masih ada hingga sekarang di kursi asli yang disimpan di Museum Pengabdian Diponegoro di bekas Wisma Karesidenan Kedu, Magelang]

Dengan gagah Diponegoro bangkit dari kursinya. Dia berdiri menentang De Kock. Dengan kedua mata yang menyala dan telunjuk mengarah langsung kepada Jenderal De Kock, Diponegoro berkata lantang.