Rahasia Kesuksesan Vietnam Tangani Covid-19: Jangan Percaya China

Walau Hanoi membantah serangan siber, dan sumber-sumber di Vietnam tidak mau membahas kemungkinan operasi intelijen Vietnam secara mendalam, Carl Thayer, seorang profesor emeritus di Universitas New South Wales dan spesialis masalah pertahanan Vietnam, mengatakan dugaan serangan itu sesuai dengan kemampuan Komando Dunia Maya Kementerian Pertahanan Vietnam.

“Tidak dapat dibayangkan bahwa komando dunia maya belum mengembangkan beberapa kemampuan ofensif yang akan memungkinkannya untuk meretas komputer pemerintah China,” ucap Thayer, dan menambahkan bahwa Vietnam juga memiliki cara tradisional untuk melakukan spionase di China.

“Tidak ada alasan mengapa Vietnam tidak dapat memahami hal ini juga melalui kecerdasan manusia dan pemantauan internet berbahasa China,” imbuhnya kepada The Diplomat.

 

BERGERAK KE DEPAN

 

Vietnam belum mengikuti jejak Presiden AS Donald Trump atau Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam mengkritik penanganan virus China. Pesannya malah difokuskan pada kekuatan Vietnam, yang mengacu pada langkah-langkah kesehatan masyarakat yang ketat dan mobilisasi nasional untuk meredam ancaman.

“Secara umum, Vietnam merespons dengan baik seruan nasional untuk kerja sama jika mereka cukup yakin bahwa ada krisis nasional,” ungkap David Koh, mantan rekan senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura yang sekarang menjalankan konsultasi sendiri.

Dia menambahkan bahwa pemerintah Vietnam lebih memilih untuk tetap berpegang pada poin positif.

“Vietnam bukan satu-satunya negara yang mungkin tidak mempercayai angka-angka China, meskipun Vietnam secara terbuka tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu,” sambungnya.

Thayer menunjukkan bahwa China dan Vietnam telah bekerja sama selama pandemi dalam menghadapi musuh bersama. Selain beberapa pertemuan lintas-batas di antara para pejabat kesehatan masyarakat, China dan Vietnam juga telah saling membantu secara material.

“Penjaga perbatasan Vietnam telah menyumbangkan masker wajah kepada rekan-rekan China mereka. China telah menawarkan bantuan kepada Vietnam dengan mengirimkan spesialis medis,” tutur Thayer.

Namun bahkan di tengah-tengah lockdown nasional Vietnam pada April, fokus hubungan bilateral beralih kembali ke persaingan geopolitik di Laut China Selatan.

Pada 3 April, Vietnam menuduh Penjaga Pantai China berunding untuk menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel yang diperebutkan. China menukas bahwa kapal Vietnam itu telah menabrak kapal penjaga pantai.

Belakangan bulan itu, China memberi nama sekitar 80 fitur di perairan yang disengketakan di Laut China Selatan, termasuk tepian yang tenggelam, yang membuat marah Vietnam, dan mendirikan dua distrik pemerintah baru di Paracel dan Kepulauan Spratly.

Surat kabar di kedua negara menuduh pihak lain menggunakan COVID-19 sebagai gangguan untuk memajukan klaim maritim mereka.

“Perhitungan antara Vietnam dan China sangat rumit,” ucap Le Dang Doanh, pensiunan penasihat ekonomi untuk lima Perdana Menteri Vietnam.

“Di satu sisi, kedua belah pihak menikmati pertukaran ekonomi yang sangat kuat, dan di sisi lain, selama pandemi, patroli laut China telah meningkatkan kehadiran mereka di Laut Timur,” tambahnya, menggunakan istilah Vietnam untuk Laut China Selatan.

Thayer mengatakan, sikap Vietnam terhadap China di tengah pandemi dan memanasnya Laut China Selatan adalah ciri khas filosofi negara tentang “kerja sama dan perjuangan” terhadap kekuatan dunia.

“Vietnam ‘bekerja sama’ dengan China untuk mengatasi virus corona karena dampak pandemi ini terhadap ekonomi dan masyarakat Vietnam, dan karena Vietnam adalah Ketua ASEAN dan COVID-19 memerlukan respons regional,” ungkapnya, seraya menambahkan bahwa kerja sama seperti itu tidak ada hubungannya terhadap geopolitik di Laut China Selatan.

“Vietnam ‘berjuang’ melawan China dalam masalah ini,” pungkas Thayer kepada The Diplomat. (*end/gl)