Adik Baruku

"Assalamu’alaikum. Ka* esok ulun* ikut tes CPNS di Balangan*. Doakan supaya lulus Ka ya". Sebuah pesan singkat dikirimkan oleh adik iparku. Teriring doa, aku membalas smsnya dengan ucapan penuh harap tanpa lupa akan kuasa Allah.

Pesan singkatnya membuatku teringat kejadian sekitar 2 tahun yang lalu ketika kami sekeluarga dikejutkan oleh niat adikku yang ingin menikah. Adikku lebih muda 2 tahun dibandingkan aku. Kuliahnya belum selesai dan kerjaan pun belum punya. Niatannya begitu kuat karena menurutnya pernikahan ini adalah cara yang terbaik untuk menjaga pandangan. Tanpa mengecilkan niatnya, kami menasehatinya untuk lebih sabar menunggu. Setidaknya sampai kuliahnya selesai. Tetapi, adikku tetap berniat baja. Calon istrinya pada saat itu, juga rupanya sudah berniat baja. Niat mereka begitu kuat sehingga kami hanya bisa meluluskan keinginan mereka sambil berdoa bahwa ini adalah jalan menuju kebaikan.

Sebagai seorang kakak, ada rasa kehilangan ketika adikku menikah. Aku kehilangan figur adik yang biasa aku "lindungi" dengan otoritasku sebagai kakak tertua. Pernikahan adikku membuatku tersadarkan bahwa adikku sudah besar. Dia bukan adik kecil yang biasa aku suruh mengerjakan ini dan itu. Aku memang sedikit "bossy" dengan adikku. Berjuta-juta nasihat keluar dari mulut cerewetku tentang banyak hal, dari masalah kecil seperti baju sampai masalah perkembangan kuliahnya.

Sekarang aku menyadari bahwa sebenarnya aku tidak kehilangan seorang adik tetapi justru aku dianugerahi seorang adik baru, yakni istri adikku. Betullah perkataan bahwa pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Pernikahan adikku membuat status kakakku menjadi bertambah karena sekarang aku adalah kakak dari tiga orang adik, Ihya, adik nomor duaku, Nadia, adik nomor tiga, dan Marwiyah, adik iparku.

Sejalan dengan waktu, aku mengamati bahwa adik iparku memang istri yang tepat untuk adikku, insya Allah. Dia adalah wanita yang mandiri, cekatan dan pintar berbisnis. Semenjak kuliah, ia sudah memiliki semangat berdagang. Saat ini, selain mengajar Bahasa Inggris, dia merintis usaha penjualan buku Islami dan buku ajar. Dengan semangat, suatu waktu dia bercerita bahwa di Tanjung*, tidak ada penjual buku yang berani mengkreditkan buku selain dirinya. "Tiga kali bayar" kata adik iparku ketika aku tanya bagaimana sistim kreditnya. Bagiku, teknik penjualannya dapat merangsang orang-orang untuk berani membeli buku karena seringkali banyak orang mengurungkan niat untuk membeli buku dengan alasan "uangnya untuk keperluan lainyang lebih penting". Dengan sistim itu, banyak orang yang akan merasa tertolong dan tentunya banyak orang akan memiliki akses untuk membaca buku-buku bagus.

Aku merasa terbantu dengan keberadaan adik iparku. Allah telah menggariskan pekerjaan yang membuatku jauh dari orang tua dan dua orang adikku. Dengan keberadaan adik iparku, setidaknya ada figur seorang anak dan seorang kakak yang orang tua dan adik-adikku dapatkan. Aku tidak bisa selalu bersama mereka tetapi aku tahu bahwa adik iparku akan mengisi kekosongan yang aku tinggalkan. Abah* dan Mamaku akan memiliki teman bercengkrama dan adik-adikku akan memiliki teman berbagi.

Seringkali terucap bahwa pernikahan akan membawa berkah. Bagiku, berkah itu tidak hanya diperuntukkan bagi pasangan yang menikah tetapi juga bagi keluarga pasangan tersebut.

"Maka nikmat Tuhan-mu manakah yang kamu dustakan" (Ar Rahman, 13).

————-
*Ka (Singkatan dari Kaka) = sebutan untuk kakak perempuan atau laki-laki
*Ulun = saya (sopan/bahasa Banjar)
*Balangan = salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan
*Tanjung = nama kota di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan
*Abah = ayah (bahasa Banjar)