Perang Candu, Cara Murah Taklukan Suatu Bangsa

Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, diambil suatu langkah tegas guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Adalah Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Sepintas tentang Lin adalah pejabat jujur, ahli kaligrafi, filsuf, sekaligus seorang penyair. Ia terkenal karena konsistensi serta komitmen dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.

Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Ya, perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.

Sebagaimana diurai sekilas tadi, Perang Boxer II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Apaboleh buat, Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.