“Myanmar Seperti Rumah Jagal, Orang-Orang Dibunuh Setiap Hari Seperti Binatang”

Beberapa pejuang menjadi anggota organisasi etnis bersenjata di perbatasan negara tersebut, di mana etnis minoritas telah bertempur selama puluhan tahun melawan militer Myanmar atau Tatmadaw untuk penentuan nasib dan hak sendiri. Yang lain, seperti Andrew, telah bergabung dengan satu dari belasan pasukan pertahanan sipil yang berkembang di kota-kota dan daerah sejak akhir Maret.

Sementara kelompok etnis bersenjata selama bertahun-tahun mengembangkan sumber daya dan kapasitasnya, pasukan pertahanan sipil kebanyakan bersenjatakan senapan berburu dan senjata rakitan lainnya, dan banyak pejuang hanya mengikuti pelatihan selama beberapa pekan.

Menghadapi militer dengan persenjataan senilai USD 2 miliar dan memiliki pengalaman 70 tahun menindak penduduk sipil, kaum revolusioner baru mengatakan kepada Al Jazeera, mereka siap menguji peluang karena mereka merasa perlawanan bersenjata adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menjatuhkan rezim.

“Kami telah melaksanakan unjuk rasa di seluruh negeri dan meluncurkan gerakan pembangkangan sipil melawan militer dengan harapan mengembalikan demokrasi sipil, tapi metode-metode itu saja tidak ampuh,” jelas Neino, mantan dosen yang sekarang memimpin sayap politik kelompok pertahanan sipil di Negara Bagian Chin dan wilayah tetangganya, Sagaing.

“Kami telah melakukan segala yang kami bisa, dan mengangkat senjata adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk memenangkan ini,” lanjutnya perempuan ini.

Salai Vakok (23) juga berada di Chin, mulai mengumpulkan senapan berburu di daerah asalnya di Mindat sesaat setelah militer mulai menembaki para pengunjuk rasa pada pertengahan Februari lalu.

“Kami biasa berharap orang dari luar negara kami akan berjuang untuk kami, tapi itu tidak pernah terjadi,” ujar mantan pekerja pengembangan komunitas ini.

“Saya tidak pernah berpikir dalam hidup saya akan memegang senjata, tapi dengan cepat saya berubah pikiran setelah mengetahui pembunuhan orang tanpa senjata, warga sipil tidak berdosa di seluruh negeri dan khususnya di kawasan dataran rendah. Saya tidak bisa terus diam. Untuk membalas pahlawan yang gugur dan menunjukkan solidaritas, saya memutuskan angkat senjata.”

Tatmadaw merespons perlawanan sipil bersenjata ini dengan serangan udara dan darat dan dengan menghalangi akses bantuan, makanan dan pasokan bahan kebutuhan untuk warga sipil di wilayah etnis. Hampir 230.000 orang melarikan diri dari rumahnya sejak kudeta, banyak bersembunyi di hutan.

Di Kayah dan negara bagian Shan, di mana pejuang sipil bergabung dengan kelompok bersenjata etnis lokal melakukan pertempuran 10 hari pada akhir Mei, yang mereka klaim telah membunuh 120 pasukan junta, di mana militer menembak mati para relawan bantuan kemanusiaan yang mengantarkan bantuan makanan dan juga menembak pengungsi yang kembali ke daerah mereka untuk mengambil beras dan kebutuhan lainnya. Pada 24 Mei, pasukan junta menembakkan artileri ke sebuah gereja Katolik di mana 300 orang mengungsi, menewaskan empat orang.

Pada 9 Juni, ahli PBB memperingatkan kematian massal akibat kelaparan, penyakit, dan paparan lainnya di Negara Bagian Kayah setelah militer memutus akses makanan, air, dan obat-obatan untuk lebih dari 100.000 warga sipil yang mengungsi.