Dari Tragedi Amangkurat Hingga Majelis Taklim Yang Dicurigai

Fenomena ini pun ditangkap Ustaz Dedi Hariadi Hidayat , dai muda lulusan Al Azhar, Kairo, yang tengah naik daun di Bandung dan sekitarnya. “Ibaratnya, sekarang ini kalau tidak ikut taklim, enggak ‘gaul’.” Tentu ini hanya pengandaian, untuk menunjukkan betapa rasanya tak ada lagi orang Indonesia yang tidak ikut majelis taklim.

Namun, isu tentang PMA no 29 ini tak urung membuat masyarakat gelisah dan mempertanyakan urgensinya. Apa yang sebenarnya dicari pemerintah atas keberadaan majelis taklim?

Berapa banyak jumlah majelis taklim di Indonesia, belum ada datanya. Namun sebagai gambaran, di kota Depok saja, Kanwil Kemenag mencatat ada sekitar 1.000 majelis taklim. Itu baru satu kota dan yang terdata.

Data lain menyebutkan, di tahun 1980-an saat Prof Dr Tutty Alawiyah membentuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), tercatat telah terdaftar setidaknya 140 ribu orang.

Saya membayangkan, jumlah majelis taklim se-Indonesia sekarang ini mungkin sangat fantastis.

Mengapa majelis taklim berkembang sangat pesat? Di antaranya karena bisa belajar agama dengan fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Sifatnya terbuka. Usia berapa pun, profesi apa pun, suku apa pun, dapat bergabung di dalamnya. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam.

Lokasi taklim bisa di masjid, di rumah, di kantor, di café, bahkan dihelat di convention center yang melibatkan ribuan peserta.

Secara etimologi, istilah majelis taklim berasal dari bahasa Arab. “Jalasa” yang artinya duduk dan ta’lim adalah bentuk masdar yang berarti “pengajaran” dengan asal katanya “’allama”. Singkatnya majelis taklim berarti tempat pengajaran.