Takut Ditangkap, Pengkritik Penguasa Mulai Takut Sebut Nama Presiden

Saya yakin, semua penulis yang kritis terhadap pemegang kekuasaan, sekarang menjadi ragu-ragu terhadap tulisan mereka. Bahkan tulisan yang mereka sadari betul tidak mengandung unsur pidana. Terus terang, sekarang ini para penulis sudah mulai tidak berani lagi mencantumkan nama Joko Widodo atau Jokowi di dalam tulisan mereka. Padahal, nama Presiden yang mulia ini dicantumkan di dalam kalimat-kalimat yang sama sekali tidak mengandung penghinaan, penistaan, apalagi pencemaran nama baik. Namun, mereka tetap takut.

Sungguh sangat memprihatinkan! Sungguh manjur strategi penguasa, sampai-sampai banyak penulis tak berani lagi menyebut nama Jokowi. Takut ditangkap polisi.

Bagi saya, suasana yang diciptakan melalui kebijakan tangkap, tangkap, tangkap, dengan menggunakan pasal-pasal ITE sekarang ini sama seperti atmosfir ketika, dulu, penguasa memberlakukan UU Anti subversi (Penpres 11/1963). Tidak ada yang berani mengkritik secara terbuka, waktu itu. Karena, siapa saja dapat ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan melakukan tindakan subversif. UU Antisubversi itu sangat kuat dalam menanamkan rasa takut.

Entah kenapa, UU ITE sekarang ini bagaikan bermutasi menjadi UU Subversi. Begitu disebut pasal ITE, langsung saja terasa sesuatu yang mengerikan. Ada perasaan bahwa yang dikenai UU ITE pasti akan masuk penjara.

Ada perasaan bahwa seseorang yang dikenai pasal-pasal ITE, akan menghadapi proses hukum yang menakutkan. Seolah-olah orang itu telah melakukan perbuatan untuk menggulingkan pemerintah. Melakukan makar, bahkan serasa melakukan aksi terorisme. Intinya, UU ini cukup ampuh menebarkan rasa takut dan ketakutan.

Lantas, apakah suasana seperti ini yang diinginkan penguasa? Rasanya tak mungkin. Tetapi, kalau disebut tak mungkin, belum tentu tak mungkin. Bisa jadi mungkin. Bagi saya, kemungkinan mungkin itu sangat besar kemungkinannya.