Sedih dan Lapar: Ada Apa dengan Lebaran 1960-an dan 2020?

Bukan hanya itu, kisah Teguh, untuk menanam tanaman pangan di sana juga sangat susah. Karena sawit membuat tanaman lain susah hidup.’’Celakanya lagi, harga sawit yang dulu luar biasa mahal, kini murah sekali. Harganya anjlok. Bahkan untuk biaya petik dan angkut tak menutupi harga jual panen sawit. Akhirnya sawit dibiarkan membusuk dan rontok dari pohon. Tragis sekali,’’ katanya ketika mencerikatakan kisah nestapa dari sang adik itu.                                                               ******
Nah, kisah kekhawatiran akan merebaknya bencana kelaparan itulah yang kemudian berkelebat di kepala  dan kemudian ditanyakan kepada Prof Hadi selaku orang tua yang sudah melintasi berbagai zaman pemerintahan.

Dan ketika dia hendak menjawab soal ini dari ujung telepon sesaat kemudian terdengar hela nafasnya yang berat. Mengapa? karena menurutnya soal ini mengisahkan zaman dirinya kala duduk di bangku SMA di Surabaya.

‘’Saga ingat waktu itu sekitar tahun 1962. Kala itu baru saja ada Asian Games dan Ganefo di Jakarta yang sangat meriah dan gemanya sampai ke Surabaya. Kami yang kala itu duduk di bangku SMA merasakannya. Apalagi saat itu ada indoktrinasi soal Nasakom dan berbagai ide politik kenegaraan Bung Karno saat itu,’’ kisahnya.

Namun, katanya, terus terang ketika kini ada pertanyaan apakah zaman itu sama situasinya seperti sekarang, jawabnya memang benar adanya. Serupa meski lain era. Apalagi sudah terpisah waktu hampir 60 tahun.

‘’Persis dengan sekarang, Hampir mirip. Tak berapa lama berselang dari acara pesta olahraga tandingan olimpiada Ganefo (The Games of the New Emerging Forces )dan Asian Games, bencana muncul di mana-mana. Gunung Agung meletuslah dahysat. Tak hanya satu kali, bahkan dua kali. Pura Besakih rusak berat. Sampai-sampai Gubernur Bali saat itu mengungikan warganya dengan jadi transmigran ke Lampung, ‘’ kenang Abdul Hadi.

  • Keterangan foto: Unjuk rasa mengeluhkan ketersediaan beras pada 1960-an.

Celakanya, tak cukup dengan bencana kekurangan pangan saat itu juga merebak. Kabar kelaparan di berbagai tempat di Jawa, misalnya Gunung Kidul, Grobogan, dan lainnya — terdengar kencang. Kisah rakyat susah makan atau pun mengganjal perut kosong dengan ‘gaplek’ (singkong yang dikeringkan) menjadi kabar yang umum. Para pegawai negeri di jatah makanan ‘bulgur’.

‘’Situasi ini makin menjadi-jadi ketika terjadi inflasi yang dahysat. Barang-barang naik harganya dengan tak terkendali dan berubah naik alias semakin mahal dalam setiap hari. Pokoknya susah sekali,’’ lanjutnya. Dalam kisah ini ada juga cerita yang mirip ketika ibunya gagal beli ‘stagen’ gegara inflasi yang menggila dan adanya kebijakan pemotongan uang atau kebijakan ‘gunting Sjafruddin’.