Catatan Hersubeno Arief: Abrakadabra Meikarta!

Dalam Inpres yang disebut media sebagai Inpres “anti gaduh,” diatur mekanisme pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal yang strategis, dan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, agar dikoordinasikan dengan Menko terkait. Nah sekarang Presiden sendiri yang melakukan by pass, dan mengabaikan Darmin.

Akibatnya tidak terhindarkan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro secara terbuka menyatakan beda pendapat dengan Luhut. Menurutnya Bekasi, Karawang dan Purwakarta tidak memenuhi syarat menjadi KEK. Kawasan itu sudah berkembang pesat, dan mempunyai infrastruktur lengkap. Jadi tidak memerlukan insentif fiskal.

KEK dibentuk berdasarkan UU No 39/2009 bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan mempercepat pertumbuhan kawasan yang belum maju.

Dalam Pasal 3 (1) KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona: a. pengolahan ekspor; b. logistik; c. industri; d. pengembangan teknologi; e. pariwisata; f. energi; dan/atau g. ekonomi lain.

Pasal 2 disebutkan, dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Sementara Meikarta konsepnya adalah sebuah kota dengan jualan utama perumahan. Dari bunyi UU tersebut jelas logika pemerintahan Jokowi menjadi terbalik-balik.

Dibangun dulu perumahan, bahkan kota, setelah berbenturan dengan perizinan, maka diubah menjadi KEK. Uennaaak tenan.

Pada Pasal 4 lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung.

Wagub Demiz dengan keras menolak revisi RDTR Kabupaten Bekasi yang berencana mengkonversi lahan pertanian produktif seluas 6.000 hektar menjadi perumahan. Bekasi merupakan lumbung pangan Jabar. Apalagi Pemkab Bekasi juga tidak bisa menjelaskan dimana lahan penggantinya.