Forum Rakyat : KM 50, Jokowi dan Bencana Demokrasi

Bencana di pemerintahan Jokowi bisa dirunut. Bencana bangsa ini dimulai dengan sejumlah janji kampanye yang tidak bisa ditepati atau dilaksanakan.
Paling nyaring didengar adalah ketika Jokowi memperkenalkan mobil Esemka yang menjadi icon terpilihnya ia di periode pertama tahun 2014. Ya, mobil Esemka yang katanya akan menjadi mobil nasional, kini terdengar sayup-sayup, antara ada dan tiada. Apalagi, di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah menyebabkan produksi mobil di Indonesia terjun bebas. Banyak yang menganggap mobil Esemka itu sebagai kebohongan dan tipu-tipu belaka.

Candaan, dan bahkan olok-olokan tentang mobil Esemka pun bertebaran di dunia maya. “Khan Esemka udh mendunia, Malah ini populer di dua dunia, Dunia nyata maupun Maya,” cuit bnu Sholh @IbnuSholh. “Mobnas Vietnam mendunia. Esemka melangit sampai sulit kembali kedunia,” komentar PANGGILGUAKADRUN (MSyD64)@almarhum080864.

Bencana demokrasi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga semakin sering terjadi. Masih ingat peristiwa bulan Mei 2019, saat masyarakat berdemo di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Massa berdemo karena menuntut keadilan terhadap hasil pemilihan presiden (Pilpres). Akan tetapi, demo itu dijawab dengan kekerasan oleh aparat kepolisian atas nama undang-undang.

Gas air mata, pentungan, dan peluru karet pun digunakan untuk membubarkan massa. Massa pendemo dikejar-kejar sampai ke pemukiman penduduk.
Banyak yang luka-luka, dan bahkan ada yang meninggal dunia. Yang ditangkap juga banyak. Semua yang dilakukan aparat polisi itu adalah atas nama undang-undang, karena menurut polisi semua tindakan tersebut sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Bencana demokrasi dan hukum semakin terasa kian hari. Aparat kepolisian semakin refresif dalam membubarkan demostrasi. Sejumlah aktivis, seperti Syahganda Nainggolan, Djumhur Hidayat, dan lain-lain ditangkap dan dipenjara. Mereka ditangkap hanya karena perbedaan pendapat. Para aktivis yang mengeluarkan pendapapat kritis pun dituduh ingin menggulingkan pemerintah.

Tidak hanya menangkapi aktivis, aparat kepolisian pun kemudian menembak enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. Enam laskar yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) menuju pengajian keluarga inti di Karawang dihabisi Senin 7 Desember 2020. Awalnya, polisi mengaku menembak mereka karena melawan dengan menggunakan senjata api. Keterangan kemudian berubah, mereka ditembak karena mau merebut senjata polisi.

Keterangan polisi yang disampaikan Kapolda Metro Jaya, Fadhil Imran itu pun jika dicocokkan dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi sendiri, sangat berbeda pula. Keterangan Fadhil pun disanggah oleh FPI. Melalui Sekretaris Umum sekaligus pengacara FPI, Munarman, pihaknya justru mengaku enam laskar itu hilang diculik orang tidak dikenal. Laskar, kata Munarman, tidak dibekali senjata tajam, apalagi senjata api.

Tidak sampai tewasnya enam laskar, HRS pun dijadikan tersangka kerumuman di Petamburan ditahan. Masih belum puas sampai penahanan, HRS juga menjadi tersangka kerumuman di Pesantren Agrokultur Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Persoalan lahan di pesantren ini pun kemudian diungkit pihak PTP Nusantara VIII melalui somasi.

Setelah kasus lahan, praperadilan tentang SP3 (Surat Perintah Penyidikan) dalam kasus dugaan chat mesum pun tiba-tiba dimenangkan oleh penggugat di PN Jakarta Selatan. Tidak jelas kapan sidang atas gugatan nomor 151 itu. Padahal, praperadilan yang diajukan kuasa hukum HRS atas sangkaan kerumunan di Petamburan bernomor 150 saja baru disidang sejak Senin, 4 Januari 2021 dan Selasa, 11 Januari 2021 diputuskan.