Kasman Singodimedjo Kepada Kaum Intelektual: Jangan Jadi Orang Asing Terhadap Islam

“Hampir-hampir kita tinggalkan sama sekali adat pusaka lama kita, yang mengandung pengertian bahwa pesta-pesta rumah yang diadakan oleh orang-orang yang berada, adalah bertujuan untuk menyenangkan dan menyuguhi jiran sekampung. Selamatan-selamatan yang diadakan dengan Kiayi-Kiayi dan santri-santri sebagai tamu terhormat telah tidak lagi menjadi kebiasaan bagi orang-orang kita yang berada.”

Seperti halnya pesta-pesta tadi, lanjutnya, pergaulan kaum intelektual pun seperti orang Eropa. Mereka hanya ingin berteman dengan orang Eropa atau orang Indonesia yang sudah kebarat-baratan, khususnya yang bisa berbahasa Belanda.

Ia merasakan kenyataan yang pahit dan menyedihkan ketika kaum intelektual buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat. Mereka tidak mengenal perasaan yang dimiliki rakyat. Pergaulan, pendidikan, dan hubungan mereka dengan orang Barat, khususnya dengan orang-orang Belanda, membuat mereka kurang bisa mengerti curahan perasaan rakyat yang jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan.

Mereka menganggap segala sesuatunya yang bukan contoh dari orang Eropa adalah rendah, terbelakang, dan tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sampai-sampai apa yang paling baik dipunyai bangsa kita. “Pokoknya semua yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan oleh dunia Barat yang telah menguasai negara kita ini, sudah kita anggap rendah pula dan kita rasakan sebagai sesuatu yang salah karena tidak sesuai dengan contoh yang kita tiru dari manusia-manusia Barat yang rakus tak pernah kenyang itu.”

Menurutnya, kesalahan mereka karena terlalu meningkatkan diri pada pengetahuan sekolah dan meninggalkan rakyat jauh di belakangnya. Kejiwaan itu menyebabkan mereka selaku murid orang Barat tak sedikit pun dapat mengakui atau menghargai sesuatu yang berasal dari kepribadian bangsa sendiri. Sehingga seolah-olah rakyat itu harus belajar dari mereka, bahkan mereka sampai menyangka- nyangka seolah-olah rakyat tidak mempunyai keinginan untuk merdeka ataupun tidak berhasrat sendiri untuk berkembang. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa mereka harus mengadakan perubahan pada rakyat.

“Betapa salahnya persangkaan kita itu. Betapa justru lebih dulu dari lingkungan kaum intelektual, di kalangan rakyat telah tercetus keinginan untuk merdeka dan hasrat kepada kemajuan, yang disusul dengan tindakan dan perbuatan.Tampak adanya inisiatif yang murni dan daya cipta yang enerjik yang menunjukkan keinginan akan kemajuan, dan perasaan persaudaraan terutama sekali harus dicari pada rakyat kita yang beragama Islam dan telah menyatukan diri dan berorganisasi dengan memakai Islam sebagai dasar.”

Ia menyebutkan banyak sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama dan lain-lain seperti Sarikat Usaha dan Sumatera Tawalib. Sedangkan perkumpulan-perkumpulan lain mencontoh pendidikan sekolah-sekolah pemerintah, yang umumnya dipandang tidak tepat dari segi kebangsaan. Di saat sebagian orang-orang Indonesia yang kompeten dan orang-orang Eropa sibuk mengadakan teori dan percobaan-percobaan, organisasi-organisasi Islam sudah lebih dahulu menyusun dan mempraktikkan pendidikan nasional untuk bangsa kita. Ia menilai itu karena organisasi-organisasi Islam menggunakan dasar Islam sehingga mengarahkan mereka pada usaha menuju kesatuan dalam pendidikan, yaitu usaha yang membayangkan keberhasilan.

“Dalam usaha membangun pendidikan itu, mereka itu tidak mengambang di awang-awang, oleh karena mereka dapat melanjutkan usaha atas dasar-dasar yang telah ada dalam sejarah kebangsaan sebelum ini, dengan memperhitungkan pula perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman modern. Dalam hal ini, mereka tidak usah meraba-raba lagi. Oleh karena negara -negara Islam yang telah mendahului kita dalam perkembangan kemajuan, terutama misalnya Mesir, Persia, dan India, telah memberikan contoh yang bermanfaat.”