Koalisi Parpol, Dilema Demokrasi

Oleh: Tamsil LinrungKetua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI

 

PEMILU presiden masih dua tahun lagi. Namun jumpalitan politik menyusun puzzle koalisi partai politik telah menggeliat.

Sebagai sebuah istilah politik, kata koalisi sebenarnya tidak dikenal dalam terminologi UUD 1945. Konstitusi hanya mengenal gabungan partai politik. Agaknya, defenisi koalisi merujuk kepada pengertian tersebut.

Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jauh hari telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu. Karena tiga partai ini merupakan partai pendukung pemerintahan, sejumlah pihak menyebutnya koalisi pemerintah. Tidak sedikit pihak bahkan menduga ada campur tangan Presiden Joko Widodo dalam pembentukannya.

Jokowi tentu memerlukan “orang kepercayaan” yang bisa meneruskan kebijakannya, semisal pembangunan Ibukota Nusantara yang dipaksakan itu. Selain itu, Jokowi juga memerlukan orang yang bisa “menjaganya” secara politik di kemudian hari. Ini manusiawi saja, terlebih ada banyak kerusakan negeri akibat kebijakan yang tidak tepat sasaran selama Jokowi memerintah.

Kemungkinan nama yang didukung Jokowi adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah saat ini. Sinyalemen ini muncul dari pernyataan Jokowi di hadapan para relawan Pro Jokowi (Projo) terkait dukungan Pilpres 2024. Ketika itu, Jokowi sempat menyinggung nama Ganjar.

Persoalannya, Ganjar adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pengelolaan politiknya harus ekstra hati-hati. Mungkin, ini pula sebabnya KIB masih malu-malu menyebut nama.

Dukungan Jokowi ke Ganjar otomatis dapat dimaknai sekaligus sebagai sikap menjauh dari Puan Maharani, putri Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Oleh Mega, Jokowi acapkali ditegaskan ke publik sebagai petugas partai. 

Benarkah Jokowi memunggungi Mega? Sulit membayangkan situasi ini. Bagaimana pun juga, jasa PDIP begitu besar mengantar Jokowi mengendarai mobil berplat Indonesia 1. Masa iya Jokowi begitu mudah berpaling?

Pertanyaan itu memunculkan spekulasi tambahan. Spekulasi ini meyakini perseteruan Jokowi-Megawati sengaja dimunculkan demi mengatrol elektabilitas Puan Maharani yang tak juga beranjak.

Perseteruan ini dengan sendirinya menempatkan PDIP seolah berseberangan dengan Pemerintah. Belakangan, kita sering mendapati PDIP mengkritisi pemerintah. Tapi, apakah fakta ini membenarkan spekulasi yang berkembang? Agaknya tidak. Resiko politiknya terlalu besar, disamping  perseteruan itu terlihat natural.

Walau terkesan ditinggal oleh “Koalisi Pemerintahan”, PDIP berusaha tegar. Menanggapi pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu, sejumlah elit PDIP mengatakan saat ini PDIP belum berpikir untuk berkoalisi.

Meski PDIP dapat mengusung pasangan Capres dan Cawapresnya sendiri, namun PDIP tak boleh jumawa. Berkoalisi adalah jalan menambah bobot perolehan suara, selain menambah  kekuatan politik.