Kudeta di Tumapel

Ken Arok bisa masuk menjadi orang dalam pakuwon bahkan tangan kanan Tunggul Ametung, karena jasa bapak angkatnya, Dang Hyang Lohgawe, seorang mahareksi sakti dari Jambudwipa. Lohgawe-lah yang sebenarnya adalah auctor intellecuallis dalam gerakan makar yang dilakukan Ken Arok.

Keris yang dipakai untuk membunuh Tunggul Ametung dan Kebo Hijo adalah keris buatan Mpu Gandring, pesanan Ken Arok. Apakah Ken Arok—yang sudah bertekad untuk mendongkel Tunggul Ametung dan juga Kediri—hanya memesan sebilah keris dari mpu dari Lulumbang itu?

Ada yang menginterpretasikan bahwa Ken Arok memesan sejumlah persenjataan yang akan digunakan kelompoknya menyingkirkan Akuwu  Tumapel. Dan, Mpu Gandring tak mampu menyelesaikan seluruh pesanan itu; sementara Ken Arok sudah tidak sabar untuk segera menyingkirkan Tunggul Ametung. Maka, dibunuhlah Mpu Gandring.

Sebagai anak angkat seorang maharesi, Lohgawe, Ken Arok mencari dukungan dari kalangan agamawan, yang memang tidak senang dengan Tunggul Ametung, yang kasar, penindas rakyat, sok kuasa.

Para Brahmana Buddha, “dikomandani” Mpu Purwa pun, yang sangat marah karena anaknya, Ken Dedes, dibawa lari Tunggul Ametung, bersepakat berdiri di belakang Ken Arok. Kehadiran tokoh agama memberikan legitimasi religius bagi kekuasaan.

Legitimasi kekuasaan yang paling kuno adalah legitimasi religius. Kekuasaan dihayati dan diterima sebagai sesuatu dari alam gaib. Raja dipandang sebagai pengejawantahan dari Yang Ilahi, sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta, yang daripadanya mengalir ketentraman, kesejahteraan, dan keadilan bagi rakyat di sekelilingnya. Implikasi terpenting legitimasi religius adalah bahwa penguasa dalam menjalankan kekuasaanya berada di atas penilaian moral (Franz Magnis-Suseno: 1986).

Dengan perlengkapan magi-religius ini, penguasa tidak dilihat sebagai subjek yang bertanggung jawab atas tindakannya, melainkan hanya sebuah wadah yang digerakkan oleh kekuatan Ilahi.

Dan, karena sang penguasa hanyalah wadah dari yang Ilahi maka rakyat atau warga negara tidak dapat meminta pertanggung-jawaban moral dari penguasa (M Sastrapratedja; Frans M Parera, 1996). Karena itu, aksi kekerasan yang terjadi dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Itulah tindakan anti-moralitas yang dilakukan Ken Arok untuk meraih, merebut kekuasaan. Menurut Bertrand Russel (1946) anti-moralitas dalam mencapai kekuasaan merupakan inti dari pemikiran Machiavelli itu yang dilakukan Ken Arok. Kekuasaan, memang, telah membutakan mata dan mata hati Ken Arok.

Ken Arok juga menggalang kekuatan dari kalangan kriminal (perampok, maling, begal, penipu, penjudi, pemadat, koruptor, dan sejenisnya) yang adalah kawan-kawan lama Ken Arok, untuk mendukungnya. Ken Arok juga didukung oleh Bango Samparan yang pernah menjadi bapak asuhnya seorang gembong penjudi.

Dalam bahasa Niccolo Machiavelli, Ken Arok menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Politik memang tidak sebersih pertandingan olah raga, tidak pula dimainkan menurut peraturan yang tetap. Peraturan akan selalu “menyesuaikan” atau “disesuaikan” dengan keadaan sekitarnya.

 

III

Tindakan Ken Arok, tentu sangat mengejutkan Tunggul Ametung, yang sangat memercayainya. Dalam politik, kepercayaan (trust) berfungsi sebagai lem yang mempertahankan sistem tetap berjalan dan sebagai minyak yang melumasi mesin kebijakan. Kepercayaanlah yang mengikat hubungan antara pimpinan dengan anak buah.

Dalam rumusan Francis Fukuyama (2002) trust diartikan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu.

Tentu rumusan trust semacam itu, menurut Fukuyama tidak berlaku di kalangan para mafia Italia yang berprinsip, “Kamu harus belajar tidak percaya sekalipun pada ayahmu sendiri!” Maka mereka memegang prinsip, “Ambillah keuntungan sebanyak-banyaknya dari orang lain yang ada di luar keluargamu pada setiap kesempatan. Jika tidak, mereka akan mengambil keuntungan terlebih dahulu darimu.”

Tetapi mereka memegang teguh prinsip l’omerta, larangan berbicara atau membocorkan informasi tentang kegiatan tertentu, terutama kegiatan organisasi kriminal. Itulah sebabnya, mengapa Ken Arok bisa menggalang kekuatan dari kalangan kriminal yang adalah habitusnya sebelum masuk lingkungan Pakuwon Tumapel.

Tunggul Ametung tidak menyadari bahwa ada pertemuan kepentingan antara Ken Dedes dan Ken Arok untuk menyingkirkan dirinya. Pertemun kepentingan itu selalu ada dan diadakan dalam sebuah kelompok termasuk partai politik dari orang-orang yang ada di dalamnya dan juga antara orang dalam dan orang luar.

Sebagaimana adagium lama, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, selain kepentingan. Apalagi dalam politik yang oleh George Orwell disebut sebagai tumpukan kebohongan, penafian, kegilaan, kebencian, dan sizofrenia. Kepentingan inilah yang selalu memberikan kejutan. Dan, yang paling menyenangkan dalam politik adalah mengejutkan lawan.

Ketika akhirnya Ken Arok memainkan keris Mpu Gandring—lewat tangan Kebo Hijo dan tangannya sendiri—maka kejutan itu terjadi. Yang dilakukan Ken Arok menegaskan bahwa bawah sadar manusia ini penuh dengan kekerasan. Hati manusia ini diliputi dengan naluri pembunuhan seperti hati anak asuh Bango Samparan itu.

Dan, nafsu manusia ini diselimuti oleh rasa birahi (termasuk birahi kekuasaan dalam politik dan harta) untuk memiliki—seperti yang dilakukan Ken Arok yang tak mampu menahan nafsu birahinya untuk memiliki Ken Dedes—walau harus membunuh Tunggul Ametung.

Itulah sebabnya, dalam politik tidak ada kemenangan yang kekal, hanya perguliran peristiwa tanpa sesal, seperti yang diramalkan Mpu Gandring bahwa kerisnya akan memakan tujuh orang yang merasa telah memenangi pertarungan. Meskipun, sebenarnya, berpolitik adalah suatu ciri peradaban manusia. Oleh karena itu, politik—pada dirinya—tertanam hakikat kemanusiaan universal.