Mimpi Partai Islam Ideologis

Fenomena menjadikan ulama hanya sebagai pajangan, boleh jadi menjadi salah satu alasan mengapa banyak ulama yang kemudian enggan untuk terlibat dalam urusan partai. Memang, sangatlah tak menyenangkan bila orang yang diberi predikat “warisatul anbiayai” ditempatkan di pinggiran oleh orang-orang yang seharusnya mendapat pencerahan nilai-nilai Islam. Sikap ini pernah juga terjadi pada Masyumi setelah Kongres 1949, yang mendapat kritik keras dari Nahdatul Ulama dan A. Hasan Persis.

Sementara sebagian ulama lebih suka mengalah untuk menghindari konflik. Menjaga hati agar tetap ikhlas. Menghindari tuduhan “punya ambisi” ingin jabatan. Padahal, konflik itu sendiri adalah bagian dari pertarungan menegakkan kebenaran. Mengalah karena menghindari konflik dengan kebathilan pada hakekatnya membiarkan kebathilan terus berlangsung dan menumbuhkan konflik-konflik lanjutan.

Dalam konteks bernegara misalnya, kita lihat peristiwa-peristiwa ini. Sehari sesudah merdeka, Piagam Jakarta yang telah digodok berhari-hari dan disahkan oleh BPUPK untuk dijadikan falsafah negara, dirubah dalam hitungan beberapa menit di luar sidang pada tanggal 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh Islam mengalah, tidak ngotot, konon “demi menjagja persatuan” karena ada ancaman dari Indonesia bagian Timur yang tidak akan ikut dalam republik jika Piagam Jakarta tidak diubah.

Hilanglah kewajiban negara untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rasakanlah dampaknya kini. Ketika Soekarno dan Hatta “menyerah” serta Jogja sebagai ibu kota Indonesia dikuasai sekutu, Syafruddin Prawiranegara memimpin Republik Indonesia dari pengasingan. Tokoh Islam sekaligus tokoh Mayumi ini menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia menyelamatkan eksistensi republik dari agresi meliter maupun diplomasi internasional.

Namun setelah Soekarno dibebaskan, jabatan Presiden itu diserahkan lagi kepada orang yang sudah menyerah. Mungkin takut dikata sebagai punya ambisi jabatan. Masih banyak catatan “keikhlasan” (bisa disebut kelemahan) masa lalu yang membuat nasib umat sekarang seperti ini. Andaikan dua hal itu, soal Piagam Jakarta dan PDRI, waktu itu kita ngotot, mungkin sejarah repuiblik ini akan sangat berbeda.

Sebagai bandingan, cerita tentang respon utusan Taliban, Gulbuddin Hekmatiyar atau Rasul Sayaf? terhadap nasehat Anwar Haryono ketika mereka berkunjung ke Markas Dewan Dakwah di Jalan Kramat Raya 45 pertengan 1990-an. Anwar Haryono menasehatkan para Taliban menerima proposal rekonsiliasi di bawah Presiden Rabbani untuk mengakhir konflik, dan demi persatuan rakyat Afghanistan.