Natalius Pigai: Negara Abai Orang Miskin Dan Pengangguran

Dalam kurun waktu 20 tahun kemiskinan mengalami penurunan dari 24,43 menjadi 9,41 yaitu turun sebesar 14,90 persen, atau bila dilihat dari angka postulat maka jumlah penduduk miskin dari 49,50 juta tahun 1998 menjadi 25,14 juta pada tahun 2019.

Kalau mau jujur soal reputasi terbaik “sepanjang sejarah” maka masing-masing-masing Presiden memiliki reputasi terbaik sepanjang sejarah jika dilihat dari massa dimana Presiden masing-masing memimpin. Pada masanya Presiden Habibie terbaik sepanjang sejarah karena menurunkan angka kemiskinan dari 24,43 persen menjadi 23,42 persen.

Demikian pula Gus Dur memecahkan rekor terbaik dijamannya menjadi 18,41 peresn, dan seterusnya akhirnya jaman Jokowi menjadi 9,86 persen juga terbaik sepanjang sejarah. Dan seterusnya jika siapapum terpilih menjadi Presiden akan memecahkan rekor karena kemiskinan di negeri ini juga seluruh dunia cenderung mengalami penurunan secara alamiah. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan pemerintah tersebut narasi yang manipulatif dan menyesatkan.

Selanjutnya kalau kita melihat kinerja masing-masing presiden terkait seberapa besar upaya menurunkan angka kemiskinan maka Presiden Jokowi merupakan presiden paling terburuk kinerjanya dalam menurunkan angka kemiskinan.

Dengan demikian Presiden Jokowi dalam jangka waktu 5 tahun, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 1,1 persen. Sangat kecil sekali dibandingkan dengan presiden-presiden yang lain. Lebih ironi lagi bahwa Jokowi 5 tahun orang miskin turun 1,1 persen, sementara pundi-pundi orang kaya naik 10 persen.

Data yang saya hitung dari Laporan BPS bahwa kepemimpinan Presiden BJ Habibie berhasil menurunkan angka kemiskinan dari jumlah 24,43 persen menjadi 23,42 persen. Diketahui, Habibie menjadi presiden hanya 1 tahun dan 5 bulan.

Kemudian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari 23,42 persen menjadi 18,41 persen atau turun 5,1 persen. Gus Dur memimpin Indonesia dimulai pada 1999 hingga 2001. Di masa pemerintahan Megawati angka kemiskinan dari 18,41 persen menjadi 17,42 persen, kemudian dilanjutkan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono-red) dari 17,42 persen turun menjadi 14,15 persen di periode pertama dan menjadi 10,96 persen di periode kedua.

Seperti diketahui, Megawati menjadi presiden dimulai pada 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004, dan SBY memimpin selama dua periode. Tahun pertama kepemimpinan SBY turun 2,51 persen dan periode kedua turun 3,46 persen. Kemudian lanjut ke Jokowi. Dari 10,96 persen sekarang 9,86 persen. Turunnya itu cuma 1 persen selama empat tahun. Dari data sah BPS, Jokowi itu paling gagal, ia hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebanyak ,1 persen selama lima tahun Rp 11 ribu triliun APBN yang dihabiskan.

Salah satu kegagalan Jokowi turunkan angka kemiskinan karena selain Jokowi tidak punya niat baik juga tidak punya master plan. Konsepsi dan arah pembangunan yang berorientasi pada, Pengentasan Kemiskian (pro poor), Penciptaan lapangan kerja (pro job), Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (pro growth).

Pemerintah Jokowi justru menghadirkan program yang mencekik leher rakyat miskin seperti kenaikan harga BBM, Kenaikan harga listrik, Kenaikan BPJS dan pengendalian harga pangan untuk menekan inflasi  yang kurang sehingga penyebab sulitnya mengentaskan kemiskinan di negeri ini.

Untuk menurunkan orang miskin di negeri ini tidak sulit. Negara harus memastikan untuk menutup faktor kemiskinan yang muncul karena kalori atau pangan dan non pangan seperti kesehatan, pendidikan serta distribusi uang ke rakyat secara langsung untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Uang Rp 11 ribu triliun dalam 5 Tahun APBN adalah jumlah yang besar namum hanya membuat kenyang orang-orang kaya.

Pengangguran Bertambah di Tahun 2019

Pada Agustus 2019 jumlah pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 7,05 persen atau penganggur bertambah dari 7 persen tahun 2019. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Pada Bulan Februari 2019, Tingkat Penganggur Terbuka 5,01 persen atau 6,82 juta. Jumlah tersebut di tambah dengan pekerja tidak penuh terbagi yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen).

Dengan demikian secara keseluruhan jumlah penganggur baik penganggur terbuka, maupun setengah penganggur menjadi 35,05 persen.

Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur/pencari kerja terhadap jumlah angkatan kerja berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Lebih penting lagi digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian, selain angka kemiskinan.