Pilkada di Tengah Pandemi untuk Siapa?

Dalam tulisannya yang berjudul Elections in a Pandemic: Lessons From Asia yang dimuat di thediplomat.com, Adhy Aman menyatakan bahwa semakin rendah tingkat partisipasi, semakin tidak sah hasilnya, terutama jika jumlah pemilih kurang dari 50 persen. Ini telah menjadi salah satu kekhawatiran utama pemilu yang diadakan selama pandemi, mengingat persyaratan jarak fisik dan kepercayaan pemilih yang dipertanyakan untuk meninggalkan rumah mereka dengan aman untuk pergi ke TPS.

Dari data yang ada, tingkat partisipasi pemilih di negara-negara Asia tersebut masih di atas 50 persen yang tentu diperoleh dari kerja keras pemerintah masing-masing negara dengan kreativitasnya untuk meyakinkan para pemilih terhadap keamaman dan keselamatan mereka dalam mengikuti proses pemilu. Misalnya, dengan pengaturan pemungutan suara tambahan, seperti pemungutan suara melalui pos dan pemungutan suara awal, telah digunakan di Korea Selatan untuk mempertahankan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya.

 

Namun, di mana pun, mayoritas pemilih tetap memberikan suaranya secara langsung di TPS. Dan ini bisa menjadi pelajaran bagi pilkada di Indonesia pada akhir tahun 2020 ini.

Dengan makin dekatnya waktu pilkada serentak di Indonesia, tentu tidak banyak kreativitas yang dapat dilakukan oleh KPU dan KPUD untuk dapat membuat terobosan dalam memperkuat jaminan keselamatan rakyat pemilih di tengah pandemi seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dan lainnya. Juga perlu diingat, di negara-negara tersebut tidak ada ormas besar yang memiliki pengaruh besar terhadap rakyat, seperti NU dan Muhammadiyah.

Walhasil, pilkada serentak dapat terlaksana, tapi jika ada pembangkangan rakyat, dan ini sudah disuarakan oleh beberapa tokoh, sehingga tingkat partisipasi pemilih di bawah 50 persen, tidak legitimate, lalu pilkada ini untuk siapa? (rol)

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki; Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)