DPR Dinilai Sudah Mati sebagai Lembaga, Ini Alasannya

eramuslim.com – Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengkritik kondisi demokrasi dan hukum Indonesia. Ia menyoroti banyak disahkannya undang-undang yang “ngawur”. Lahirnya UU yang ngawur ini tak terlepas dari kinerja DPR yang buruk sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah.

Bivitri mencontohkan revisi UU KPK hingga UU IKN merupakan contoh UU yang cacat.

“Tidak pernah lagi ada hak angket sejak 2017. Presiden [Jokowi] mau matikan KPK, 2 minggu pada 2019, revisi UU KPK keluar, Presiden ingin memberikan konsesi yang bagus untuk para pemilik tambang batubara, 6 hari revisi UU Minerba keluar. Presiden ingin memindahkan ibu kota ke IKN, 21 hari UU-nya dikeluarkan begitu saja oleh DPR,” ucap Bivitri dalam acara temu akademisi se-Jabodetabek dalam membahas demokrasi Indonesia di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (14/3).

Bivitri menuturkan, ketidakmampuan DPR dalam membatasi kekuasaan presiden membuktikan bahwa parlemen sudah mati.

“Maka dengan atas nama hukum misalnya, DPR mati sebagai lembaga yang menyeimbangkan kekuasaan. Tidak pernah lagi ada hak angket sejak 2017,” kata bintang film dokumenter “Dirty Vote” ini.

Bivitri juga menyoroti peran MK selaku pemegang kekuasaan yudikatif juga gagal menyeimbangkan kekuasaan presiden.

“MK, lihat sendiri, revisi UU KPK yang dibiarkan, Perppu Cipta Kerja dan lain sebagainya,” ujar pendiri sekolah hukum Jentera ini.

Bivitri juga menyebut, kondisi negara semakin parah setelah kritik masyarakat sipil kepada pemerintah malah dibungkam.

Bivitri Beri Solusi: Pengadilan Rakyat

Untuk menghadapi masalah ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti mengembalikan gagasan negara hukum pada pembatasan kekuasaan dan hak warga. Sebab menurut Bivitri, negara tidak akan hadir tanpa warga.

“Negara tak akan hadir kalau tak ada warga, bukan kebalik. Lebih kritis melihat hukum, khususnya saat bersandingan dengan kekuasaan. Termasuk memperjelas hak angket kepada warga,” jelas salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini.

Bivitri menyebut, langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah menggali lagi alternatif hukum di semua bidang. Bukan hanya hukum kenegaraan, tapi juga olahraga dan ruang nonpolitik lainnya.

Termasuk untuk ruang politik seperti hak angket yang memberikan kejelasan pada warga tentang dugaan-dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang luar biasa besar.

“Dan yang ketiga bagaimana kita menggali hukum alternatif terhadap hukum yang tengah mengalami kemunduran seperti ini. Misalnya untuk adakan pengadilan rakyat bagi kekuasaan yang terlalu disalahgunakan oleh Jokowi,” tutup Bivitri.

Pengadilan rakyat sebelumnya juga digaungkan dosen FH UGM sekaligus pemain “Dirty Vote”, Dr. Zainal Arifin Mochtar.

(Sumber: Kumparan)

Beri Komentar