Shamsi Ali: Bahaya Pengakuan Yerusalem Sebagai Ibukota Zionis-Israel

Oleh karenanya lebijakan ini tidak mengejutkan, walau pahit, karena memang itulah sejarah kebijakan Amerika dari sejak dulu. Perhatikan semua keputusan atau resolusi PBB tentang isu Palestina dan Zionis- Israel. Anda tidak akan terlalu terkejut dengan hal ini.

Justeru yang menjadi masalah utama sesungguhnya adalah dunia Islam sendiri. Secara agama ini juga bukan sesuatu yang aneh. Kelemahan terutama umat akan selalu ada pada perpecahannya. Kerapuhan umat dalam kesatuan menjadi kelemahan utama sejak dahulu yang kerap dimainkan oleh mereka yang punya kepentingan.

Saat ini ada 57 negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang disebut OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Secara jumlah organisasi ini adalah organisasi negara-negara di dunia terbesar setelah GNB (Gerakan Non Blok). Persatuan negara-negara Amerika, Uni Eropa, bahkan Persatuan negara-negara Afrika masih kalah. Ironisnya, negara-negara OKI ini tidak punya gigi ketika berada pada posisi membela kepentingan umat. Perhatikan posisi mereka di setiap keputusan yang diambil di PBB.

Isu Palestina sejak dari dulu selalu menjadi isu seksi di kalangan pemimpin Islam. Di setiap kampanye pemilihan misalnya, salah satu isu yang layak jual adalah isu Palestina. Termasuk ketika pemilihan Presiden RI yang lalu. Tapi begitu kepentingan para pemain telah di tangan, Palestina tidak lagi mendapat perhatian. Isu itu akan kembali digoreng ketika para penguasa itu kembali berkepentingan.

Retorika demi retorika juga didengar di mana-mana, sejak dahulu hingga kini. Dari zaman Saddam Husain, Muammar Qadhafi, Mahathir Muhammad, hingga ke Ahmadinejad dan sekarang ini Presiden Turki Erdogan. Yang lebih parah adalah ketika pemimpin itu dengan retorika tinggi mengutuk-ngutuk Israel, tapi di belakang pintu mereka berjabat tangan dan membuka hubungan diplomatik.

Dalam situasi seperti saat ini, saya merasa negara yang bisa didengar oleh Amerika dan Donald Trump adalah Saudi Arabia. Ingat kunjungan pertama Trump keluar negeri justeru ke Saudi Arabia. Itu adalah sinyal bahwa Saudi Arabia sesungguhnya masih punya tempat terhormat di matanya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah Saudi memang ingin menggunakan posisi itu untuk membela Palestina? Atau sejatinya Saudi Arabia memang tidak akan pernah memposisikan diri sebagai pembela Palestina?

Saya khawatir jika Saudi memang berada pada posisi kedua. Bahwa Saudi Arabia memang tidak pernah akan melakukan pembelaan itu. Bahkan yang terjadi sebaliknya jangan-jangan keberanian Donald Trump ini karena ada permainan mata di belakang layar. Wallahu a’lam.

Saat ini Saudi Arabia berada dalam nightmare (ketakutan) yang sangat dalam. Selain ancaman dari dalam (internal conflict, bahkan antar keluarga) juga Saudi dibayang-bayangi oleh ketakutan dari tetangga-tetangganya. Dulu dengan Saddam, lalu Qadhafi, dan sekarang Basyar Al-Asad. Tapi ancaman yang paling ditakuti Saudi adalah Iran yang dinilai berhasil melebarkan sayap kekuasaannya di kawasan. Wajar jika Saudi melakukan apa saja untuk membasmi kelompok-kelompok Syiah di Yaman maupun Lebanon.

Kesemua itu menjadikan Saudi Arabia memilih diam terhadap kebijakan Donald Trump ini. Kalaupun bersuara nantinya, di balik layar rangkulan mereka justeru semakin mesra. Apalagi rencana reformasi keagamaan Saudi (religious reform), yang biasa dilabel sebagai “proses moderasi” oleh tepatnya Ben Salman semakin mendapat simpati dari Donald Trump dan sekutunya.

Intinya keputusan Donald Trump ini dilakukan untuk kepentingan basis dukungannya. Maklum dengan segala permasalahan internal yang dihadapinya semakin tidak tertahankan. Keterlibatan Rusia dalam pemilihan dirinya semakin membanyang-bayanginya untuk menghadapi pemecatan (impeachment). Maka, secara politik dalam negeri keputusan ini akan banyak mengurangi minimal gonjang ganjing politik dalam negeri.

Justeru yang akan menanggung akibat blunder ini ke depan adalah warga Amerika dan mereka yang dianggap terwakili oleh Donald Trump. Sementara dunia Islam hanya akan semakin nampak kemunafikan, sikap “mudzabdzabina” terombang-ambing di antara kepentingan dan ketakutan para penguasanya.

Pada akhirnya harapan itu hanya pada Sang Hafidz Baitullah, Rabbul Ka’bah wal-Aqso. Insya Allah!

New York, 6 Desember 2017

* Presiden Nusantara Foundation

(kl/rol)