Virus China dan Doa Habib Rizieq

Di Indonesia, sebagai negara beragama, mayoritas Muslim, kita percaya kekuatan ilahiah. Meski tentu saja kekuatan doa, misalnya, bukan diletakkan di awal, melainkan di akhir setelah ada usaha.

Di Indonesia orang-orang sudah berdebat hukum wajib shalat Jumat dan shalat berjamaah; juga tentang apakah mati karena wabah masuk surga alias syahid; atau bagaimana hukum menghindari wabah, sebagaimana ajaran Rasulullah.

Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, di Medsos, dan Gubernur Sumatera Utara misalnya meminta umat Islam tidak meninggalkan masjid. Majelis taklim di Sulawesi Selatan diberitakan tetap menggelar istighosah akbar. Namun, beberapa masjid, sudah meniadakan shalat Jumat, membuat shalat berjamaah berjarak 1 meter (kewajiban Islam harusnya merapatkan), mencabut karpet-karpet masjid, dll.

Simpang siur kehidupan agama saat ini cukup meresahkan. Menambah kefrustrasian isu wabah semula. Di situlah pentingnya seorang ulama besar seperti Habib Rizieq Sihab menuntun umat Islam di Indonesia. Mereka saat ini sudah dalam keadaan kebingungan. Apalagi bulan Ramadhan sudah di depan mata.

Kepentingan kedua kita terhadap Habib Rizieq adalah untuk memohon kepada Allah agar Allah tidak memberikan wabah ini sebagai balasan atas “pengusiran” Habib Rizieq dari Indonesia.

Mengaitkan wabah dengan azab Allah kelihatannya tidak rasional. Namun, Islam juga mengajarkan “beyond rationality”. Jika kita melihat semua fenomena rasional tidak bisa lagi menjelaskan, kita berharap kekuasaan di atas pikiran manusia lah yang bisa menjawab.

Bagaimana penjelasan atas uraian di atas? Saya misalnya bisa melihat rasionalitas dari strategi Belanda dalam menantang virus. Mereka seperti orang-orang “Viking” yang gagah berani. Strategi mereka dikatakan strategi karena mempunyai langkah terukur.

Jika di Indonesia kita masih membebaskan orang-orang RRC datang kemari dan baru mengetahui eks karyawan Telkom positif corona, 12 hari setelah dinyatakan negatif, maka kita adalah bangsa tanpa strategi jelas. Tanpa rasionalitas.

Situasi tanpa rasionalitas dapat juga menunjukkan kemampuan kita untuk rasional sudah hancur. Ini dalam agama dapat dikaitkan dengan hukuman Allah. Allah tidak lagi membuat akal dan jiwa kita “hidup”. Sehingga, akhirnya kita harus berserah diri pada Allah tersebut.

Dengan situasi “survival of the fittes” seperti pembiaran, maka nasib rakyat tidak lagi bisa dipercayakan pada negara. Namun, rakyat bisa apa? Kecuali doa dan doa. Doa meminta ampun karena membiarkan para ulama kita dizalimi, misalnya. Dan doa lainnya.